PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Istilah “hukum” mengandung pengertian yang luas yang meliputi
semua peraturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya.[1]
Hukum memiliki
fungsi
yang
sangat
penting dalam kehidupan
dan perubahan
masyarakat. Ada dua aspek yang menonjol dalam perubahan hukum dan perubahan masyarakat yaitu :[2]
1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian oleh hukum. Dengan lain perkataan, bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Ini menunjukkan
sifat pasip dari hukum.
2.
Sejauh mana hukum
berperan untuk
menggerakan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana. Di sini hukum berperan aktif,
dan inilah yang sering
disebut sebagai fungsi hukum “a tool of social engineering” sebagai alat rekayasa masyarakat.
Dalam rangka
menjalankan fungsi untuk
sebagai “a tool of
social engineering”, hukum sebagai sarana pembangunan,
hukum itu menurut Michael
Hager dapat mengabdi
pada 3 (tiga) sektor yaitu :[3]
1. Hukum sebagai
alat penertib (Ordering)
Dalam rangka penertiban ini hukum
dapat menciptakan suatu kerangka bagi
pengambilan keputusan
politik dan pemecahan
sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum
acara yang baik. Ia pun dapat meletakkan dasar hukum
(legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.
2. Hukum sebagai
alat penjaga keseimbangan (balancing).
Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
3. Hukum sebagai
katalisator.
Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan
terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (Law Reform) dengan bantuan
tenaga kreatif di bidang
profesi hukum.
Mengingat fungsi dan pernanan hukum
yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat
dewasa ini, maka hukum harus menjamin
adanya kepastian hukum, keadilan dan
kegunaan bagi masyarakat.[4]
Permasalahan yang muncul saat ini adalah hukum tidak berjalan sesuai dengan nilai-nilai
dasar dibentuknya hukum itu
sendiri.Belum terlihat ada suatu perubahan
hukum ke arah yang lebih baik karena hukum kita masih dependen pada sumber daya ekononomi dan politik. Reformasi hukum masih sulit untuk dijalankan.
Alasannya secara politik dan ekonomi, peranan hukum
melegitimasi keputusan-keputusan politik dan ekonomi dimana
hukum menjadi subordinasi dari kekuasaan.[5]
Prof. Dr. J.E. Sahetapy, SH. MA dalam ceramahnya di IKIP Ujung Pandang,
antara lain mengemukakan:[6] Hukum dalam rangka
mengatasi kemiskinan dalam segala perspektif dan ramifikasinya perlu
ditata secara holistik dan tidak fragmentaris dan sektoral. Tetapi kapan dimulai ? Selama ini hukum ibarat perempuan jalang dari kumpulannya terbuang. Hukum dalam GBHN 1993 baru mulai digarap dengan alasan globalisasi dan tuntutan teknologi modern. Padahal selama ini proses
pembusukan sudah begitu parah. Sehingga suatu letupan pelecehan hukum, baru
mengingatkan penguasa betapa parah
kerusakan hukum baik dalam mekanismenya maupun dalam manusia penegaknya.
Melihat kondisi hukum
yang sangat parah dewasa ini, maka perlu dilakukan
lawreform terhadap hukum. Dalam hal ini upaya
melalui sejarah hukum merupakan suatu langkah yang baik untuk melihat bagaimana perkembangan hukum tersebut sejak dari kelahirannya sampai saat ini khususnya
perkembangan hukum perdata yang sangat pesat terutama perkembangan hukum
ekonominya di era globalisasi. Globalisasi hukum mengikuti
glonalisasi ekonomi, dalam
arti substansi berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui perjanjian
dan konvensi internasional, perjanjian privat,
dan institusi ekonomi baru.[7]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
di atas permasalahan
yang dikemukan dalam tulisan
ini adalah Bagaimanakah
perkembangan hukum perdata di
Indonesia?
Mengingat bahwa saat ini perkembangan
hukum
begitu
pesat
hukumnya di bidang ekonomi.
C.
Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang
berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga bersumber dari beberapa
artikel dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Hukum Perdata
Hukum privat atau hukum perdata di Eropah Barat biasanya dibagi dalam
hukum perdata dan hukum dagang. Di Indonesia pembagian
seperti ini juga dikenal dalam pembagian
hukum perdata dan hukum dagang.
Dari sejarahnya diketahui bahwa hukum perdata Eropah
ini bagian terbesar
berasal dari hukum perdata Perancis yang dikodifikasi pada tanggal 21
Maret 1804. Sebelum kodifikasi tersebut di Negeri Perancis tidak ada kesatuan hukum (eenheid van recht). Wilayah negeri Perancis terbagi dalam dua
bagian, yaitu bagian utara dan tengah yang
merupakan daerah hukum lokal (pays
de
et
coutumier) dan bagian selatan yang merupakan
daerah hukum Romawi (pays de droit ecrit). Hukum
yang berlaku di bagian utara dan tengah itu terutama hukum
kebiasaan Perancis kuno yang tumbuh sebagai hukum lokal dan berasal
dari hukum Germania yang
berlaku di wilayah negeri-negeri
Germania Perancis pada waktu
sebelum resepsi
hukum
Romawi di situ. Tetapi di samping hukum
kebiasaan Perancis yang kuno itu, yang tumbuh sebagai hukum lokal, berlaku juga hukum Romawi yang berpengaruh besar. Hukum
yang berlaku di bagian selatan ialah terutama hukum
Romawi yang telah mengalami kodifikasi
dalam “Corpus Iuris Civilis” dari Justinianus. Tetapi hukum Romawi ini tidak berhasil melenyapkan
hukum lokal. Mengenai perkawinan, maka di seluruh wilayah Negeri Pernacis
berlaku hukum Kanonik, yaitu hukum
yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma dalam
“Codex Iuris Canonici”. Di samping bermacam-macam peraturan
hukum itu berlaku juga peraturan-peraturan yang dibuat oleh pengadilan Perancis.[8]
Pada bagian kedua abad ke 17, di Negeri Perancis telah timbul aliran-aliran
yang menciptakan suatu kodifikasi
hukum yang akan berlaku di situ agar
diperoleh kesatuan dalam hukum Perancis. Pada akhir abad ke 17 dan pada bagian pertama abad ke 18 dibuat
oleh Raja Perancis beberapa peraturan perundang-undangan umum yang memuat
kodifikasi beberapa bagian hukum
Perancis pada waktu itu. Antara peraturan-peraturan tersebut ada tiga yang
menjadi penting sebagai sumber hukum historis untuk mempelajari
sejarah hukum perdata Eropah : “Ordonnance sur les donations” (tahun 1731) yang
mengatur soal-soal mengenai pemberian (Schenking) :”Ordonnance sur les testamen”
(tahun 17350 yang mengatur soal-soal mengenai
testamen; “Ordannance sur les
substitutions fideicommissaires” (tahun 1747). Tiga ordonansi
ini terkenal dengan nama
ordanansi-ordonansi Daguessau (Kanselir Raja Lous
XV).
Kodifikasi hukum perdata Perancis baru dijadikan
pada waktu sesudah Revolusi Perancis. Pada
tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon
dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat rencana
kodifikasi. Panitia itu terdiri atas empat anggota
yaitu : Portalis, Tronchet,
Bigot de Preameneu dan Malleville. Yang menjadi sumber kodifiksi
hukum itu : hukum Romawi menurut peradilan Perancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Pothier dan Domat,
hukum kebiasaan daerah Perancis (Coutume
de
Paris),
peraturan-peraturan perundang-undangan
yang telah kami sebut (Ordonnances) dan
hukum yang dibuat pada waktu Revolusi Perancis
(hukum intermedier atau hukum sementara waktu).
Kodifikasi hukum perdata
itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804. Pada
tahun 1807, maka kodifikasi hukum perdata itu, yang bernama Code Civil des Perancis” diundangkan lagi dengan nama “Code
Napoleon”. Code
Napoleon itu sekarang masih berlaku
di Negeri Perancis,
yaitu Code Civil Perancis. Pada tahun 1807 juga diadakan kodifikasi hukum dagang dan hukum pidana.
Dari tahun 1811 sampai tahun 1838, Code Napoleon ini, seperti Code Perancis
lain, berlaku juga di Negeri Belanda
sebagai Kitab undang-undang hukum resmi.
Setelah akhirnya pendudukan Perancis di Negeri
Belanda pada tahun 1813, maka berdasarkan
pasal kodifikasi Undang-undang Dasar Negeri
Belanda dari tahun
1814 (Pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat
rencana kodifikasi hukum Belanda (kodifikasi hukum nasional). Panitia
ini diketuai oleh Mr.J.M Kemper (tahun
1776, tahun 1824). Yang menjadi sumber kodifikasi hukum perdata Belanda ialah : untuk
bagian terbesarnya “Code Napoleon” dan untuk bagian kecilnya hukum
Belanda yang kuno.
Pada tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepada Raja Belanda suatu rencana
kodifikasi hukum perdata. Tetapi rencana tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia – pada waktu itu negeri
Belanda dan Belgia bersatu sehingga menjadi satu negara – karena rencana itu oleh Kemper didasarkan atas hukum Belnda yang kuno, sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia hendak menurut “Code Napoleon”. Setelah mendapat
perubahan sedikit, maka rencana itu
disampaikan kepada parlemen Belanda pada tanggal 22 Nopember 1820. Rencana tersebut terkenal dengan nama “Ontwerp Kemper” (Rencana
Kemper).Dikatakan , setelah mendapat
perubahan sedikit” karena bagian terbesar dari rencana itu masih tetap
didasarkan atas hukum Belanda yang
kuno.
Dalam perdebatan dalam parlemen Belanda “Ontwerp Kemper” itu mendapat
tentangan keras dari anggota bangsa Belgia
yang dipimpin oleh Presiden (ketua) Pengadilan Tinggi di koyta Luik (Belgia) P. Th. Nicolai (Th. 1768.Th. 1836). Setelah Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka pembuatan kodifikasi hukum perdata
itu dipimpin oleh Nicolai. Karena Nicolai lah maka bagian terbesar kodifikasi
hukum perdata Belanda
didasarkan atas
“Code Napoleon”.
Hanya
beberapa
bagian
dari
kodifikasi tersebut didasarkan atas Hukum Belanda yang kuno. Maka dari itu orang dapat mengatakan bahwa
kodifikasi hukum perdata
Belanda adalah suatu
tiruan kodifikasi hukum perdata Perancis dengan beberapa perubahan yang kecil-kecil yang berasal dari hukum
Belanda yang kuno.
Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara Negeri Belanda
dan
Belgia (Tahun 1830) maka kodifikasi hukum perdata Belanda itu baru dapat diselesaikan
pada tahun 1838. Pada tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda lain, yaitu di samping Kitab Undang0undang Hukum
Perdata Belanda diadakan juga Kitab Undang-undang hukum
Dagang Belanda, Peraturan susunan Pengadilan
Belanda (RO), Kitab Undang-undang Hukum Acra Privat Belanda “
Algemena Bepalingen van Wetgeving”
Belanda (AB Belanda).
B.
Berlakunya
Hukum
Perdata Di Indonesia.
Berlakunya hukum perdata di Indonesia
tidak terlepas dari
pengaruh-pengaruh kekuatan politik liberal
di Belanda yang mencoba mengupayakan perubahan-perubahan mendasar
di dalam tata hukum kolonial. Kebijakan ini dikenal dengan
sebutan de bewuste rechtspolitiek.[9]
Tahun 1840 – 1860 merupakan tahun-tahun yang merupakan babakan baru dalam
kebijakan kolonial di Indonesia yaitu kebijakan untuk membina tata hukum
kolonial. Kebijakan ini dimaksudkan untuk di satu pihak
mengontrol kekuasaan dan kewenangan
raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi segenap lapisan penduduk yang
bermukim dan berusaha di daerah jajahan.
Kebijakan tata hukum kolonial ini ternyata mengarah kuat untuk melaksanakan kodifikasi dan unifikasi hukum dengan preferensi utama untuk mendaya
gunakan hukum Eropah atas dasar asas konkordansi.
Berdasarkan asas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi
contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah di Indonesia.
Hukum perdata Eropah di
Indonesia berasal dari : hukum Romawi, hukum
Perancis yang kuno bahkan hukum Belanda yang kuno. Pada tanggal
30 April 1947, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang diundangkan dalam Stb. 1847 No. 23. Hal ini terjadi berkat kerja keras dan kesungguhan Scholten van Oud Haarlem, beserta
anggota- anggota komisinya,
baik yang bekerja di Hindia Belanda
maupun yang bekerja di negeri Belanda. Permasalahan
yang muncul kemudian adalah apakah hukum
kodifikasi yang telah disiapkan
dan diundangkan untuk orang- orang Eropah itu patut
dan/atau wajib juga diberlakukan untuk kepentingan orang pribumi dan orang non Eropah lainnya. Dan kalau ya, apakah ini berarti
bahwa orang-orang pribnumi dan orang-orang non Eropah lainnya yang dipersamakan dengan mereka itu harus ditundukkan kepada peradilan yang
diperuntukan bagi orang-orang eropah. Mungkinkah dan realistikkan kalau maksud
itu diwujudkan.
Berlakunya Kitab Undang-undang hukum Perdata dan Kitab Undang-undang hukum Dagang ini pada mulanya hanya ditujukan
bagi Golongan Eropah dan yang
dipersamakan dengannya. Namun akhirnya dibelakukan juga kepada penduduk Bumi putera sepanjang
mereka telah melakukan Vriwillige Onderwerping dan
Toepasselijkverklaring. Koninklijk Besluit sebagai Algemeene Bepalingen van Wet geving, merupakan Keputusan
raja mengenai ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan mengandung 3 pasal
penting yaitu :
1.
Pasal 5, yang menyatakan bahwa
penduduk Hindia Belanda
dibedakan ke dalam golongan Eropah (beserta yang dipersamakan
dengannya) dan golongan pribumi
(beserta mereka yang dipersamakan dengannya);
2.
Pasal 9, yang menyatakan bahwa
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang
akan diberlakukan di Hindia Belanda)
hanya akan berlaku untuk golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan dengannya;
3. Pasal 11, yang menyatakan bahwa
untuk golongan penduduk
pribumi oleh hakim akan diterapkan
hukum agama, pranata-pranata kebiasaan
orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum , pranata dan kebiasaan
itu tidak berlawanan dengan asas-asas
kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap
orang-orang pribumi itu telah ditetapkan berlakunya hukum Eropah atau apabila orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan
diri pada hukum Eropah.
Pasal 9 AB ini kemudian menjelma menjadi Pasal 75 ayat 3 Regeringsreglement Tahun 1854.
Pasal 75 RR 1854 ini selanjutnya dimasukan ke dalam
Pasal 131 IS (Indische
Staatsregeling) Tahun 1925. Amandemen pasal tersebut menentukan
bahwa hukum Eropah hanya akan diberlakukan untuk penduduk golongan Eropah Saja, namun dapat pula diterapkan untuk penduduk golongan
pribumi. Hukum adat
diterapkan terhadap penduduk golongan pribumi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas umum mengenai
kepatutan dan keadilan.
Sampai pecahnya perang pasifik, bahkan sampai
runtuhnya kekuasaan kolonial di Indonesia, unifikasi hukum perdata untuk seluruh golongan penduduk tetap dipandang belum mungkin utnuk dilaksanakan. Dualisme hukum di
bidang hukum perdata antara
Golongan Eropah yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Dagang serta untuk
golongan pribumi yang tunduk pada hukum adat
tetap berjalan dan berlaku.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan
UUD 1945 disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini.
Dengan demikian maka seluruh tatanan
hukum kolonial yang berlaku
pada masa jajahan Belanda masih tetap berlaku sampai diadakan peraturan yang baru termasuk hukum
perdata Belanda yang merupakan warisan pemerintah
Kolonial Belanda.
C. Perkembangan
Hukum
Perdata Di Indonesia
1.
Hukum Perdata
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur
kepentingan antara warganegara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.[10]
Hukum perdata itu ada yang tertulis
dan ada yang tidak tertulis.
Hukum Perdata yang tertulis ialah hukum
perdata
sebagaimana
yang
diatur
dalam
Kitab
Undang-undang
hukum Perdata. Hukum Perdata yang tidak tertulis itu ialah Hukum
Adat. Menurut ilmu Pengetahuan, hukum Perdata itu dapat
dibagi atas empat bagian yaitu :
1. Hukum Perorangan/hukum
Badan pribadi (Personen recht)
2. Hukum Keluarga
(Familierecht)
3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
4. Hukum Waris
(Erfrecht)
Pembagian Hukum Perdata yang demikian
itu tidak sesuai dengan pembagian Kitab Undang-undang Hukum Perdata, atau
dengan perkataan lain perkataan pembagian
dari KUHPerdata itu menyimpang
dari pembagian Hukum Perdata
menurut ilmu pengetahuan. Pembagian berdasarkan
kitabnya (KUHPerdata) terdiri atas :
1. Buku I
: Hukum Peorangan/Hukum pribadi
2. Buku II
: Hukum Benda
3. Buku III
: Hukum Perikatan
4. Buku IV
: Hukum Bukti dan Daluwarsa.
2. Perkembangan
Hukum Perdata
Sejalan dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan masyarakatpun
berkembang dengan pesat. Perkembangan masyarakat
ini diikuti dengan perkembangan hukum. Hukum Perdata yang diciptakan tahun 1938 di Belanda dan dikonkordansikan di Indonesia tidak mampu lagi mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan masyarakat
yang berkembang pesat di segala bidang.
Kenyataan situasi dan kondisi hukum kita dewasa
inipun justru menuntut bukan sekedar
perlunya pengembangan ( development) dari peraturan perundang-undangan yang ada yang dinilai
masih memadai untuk terus dipergunakan, tetapi juga di sana
sini terdapat peraturan hukum yang memerlukan revisi, yakni peninjauan kembali (revise).[11]
Secara revise planning
planning ada dua kelompok sasaran
yang harus dikaji ulang pada waktu yang akan datang yaitu :
a. Aturan hukum yang tadinya dicipta setelah kemerdekaan namun tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman.
b. Aturan hukum yang berasal
dari produk kolonial yang selain tidak sesuai dengan tuntutan alam kemerdekaan,
juga tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan di luar faktor-faktor nasional yaitu perkembangan rasional dan global.[12]
Untuk itu telah terdapat peraturan-peraturan baru yang berlaku
di luar KUHPerdata.
1)
Bidang
Pertanahan
Tanggal
24 September 1960 berlaku
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria yang dikenal dengan nama
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Berlakunya UUPA tersebut memeberikan
pengaruh yang besar terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata dan juga berlakunya Hukum Tanah di Indonesia.
Diktum UUPA menentukan bahwa :
Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya keceuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotik, yang masih berlaku pada mula
berlakunya UUPA tersebut maka
dicabutlah berlakunya semua
ketentuan-ketentuan mengenai
hak-hak kebendaan sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dari Buku II
KUHPerdata kecuali ketentuan mengenai
Hipotik. Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi sehubungan dengan keluarnya UUPA
adalah :
a. Pasal-pasal tentang
benda tak bergerak
yang melulu berhubungan dengan hak-hak
mengenai tanah;
b. Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai
tanah;
c. Pasal-pasal
mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak, tak pernah berlaku;
d.
Pasal-pasal tentang kerja rodi (pasal 673 KUHPerdata)
e. Pasal-pasal tentang
hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625 – 672 KUHPerdata);
f. Pasal-pasal tentang pengabdian
pekarangan (erfdienstbaarheid) (Pasal
674
–
710
KUHPerdata);
g.
Pasal-pasal tentang hak Opstal
(Pasal 711 – 719 KUHPerdata);
h.
Pasal-pasal tentang hak Erfpacht (Pasal 720 – 736 KUHPerdata);
i. Pasal-pasal tentang
bunga
tanah
dan
hasil
sepersepuluh (Pasal
737
–
755 KUHPerdata).
2).
Hukum Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan
Presiden pada tanggal
2 januari 1974 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1974 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 3019.
Dalam
ketentuan
penutup
disebutkan
bahwa untuk perkawinan segala sesuatu
yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas
UU ini, maka dengan berlakunya UU
ini ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen
Indonesia S. 1933 No. 74) , Peraturan
perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde
Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
UU ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.[13]
3). Hukum
Hak Tanggungan
UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah. Disahkan di Jakarta pada Tanggal 9 April 1996.
Ketentuan Penutup, Pasal 29 UUHT ini menentukan
bahwadengan berlakunya UU ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut
dalam S. 1908 – 542 jo S.1909 – 190. S. 1937 – 191 dan ketentuan
mengenai hypotheek
sebagaimana tersebut dalam buku II KUHPerdata Indonesia
sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan
pada hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.[14]
Selain
peraturan-peraturan
di
atas,
sesunguhnya
perkembangan hukum
berkembang sangat pesat. Diakhir abad ke 20 ini sudah tidak lagi hanya akan terbagi-bagi ke dalam
bidang Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara dan Hukum Administrasi
Negara saja, dan diabad ke 21 akan mengenal
lebih banyak bidang hokum
lagi seperti, Hukum
Lingkungan, Hukum Ekonomi, Hukum Kesehatan, hokum Komputer, Hukum Teknologi dan sebagainya.[15]
Seiring
dengan meningkatnya secara pesat kegiatan investasi pada akhir dasawarsa
1980- an dan awal 1990-an, pembentukan sistem hukum nasional yang kompatibel
dengan norma-norma hukum
internasiona telah menjadi
fokus
organisasi-organisasi
ekonomi baik yang bersifat
regional maupun global. Di samping adanya Uruguay
Round yang telah ditanda
tangani, adanya kerjasama
ekonomi regional seperti EEC, NAFTA, APEC dan ASEAN memerlukan
perubahan
perubahan
dalam
perundangan-undang
dan
institusi-institusi nasional.
[16]
Dicapainya kesepakatan Putaran Uruguay dari perundingan-perundingan GATT merupakan
globalisasi ekonomi yang
paling signifikan yang mengharuskan negara- negara penanda tangan melakukan perubahan-perubahan terhadap seluruh sistem hukumnya terutama hukum yang
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di bidang hukum
ekonomi. KUHPerdata sedikit demi sedikit
mulai ditinggalkan karena tidak mampu lagi
mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pelaku bisnis. Namun Demikian
asas-asas yang terkandung dalam hukum perdata masih tetap dipergunakan khususnya ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 1320, 1338, 1339, 1347,1365 KUHPerdata yang senantiasa
dijadikan sebagai pedoman dalam setiap
kontrak-kontrak yang dilakukan di
bidang bisnis.
Beberapa asas yang terkandung
dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam setiap
perikatan adalah : Asas kebebasan berkontrak,
Asas Konsesualisme, Asas Kepercayaan, Asas Kekuatan Mengikat, Asas
Persamaan hukum, Asas Keseimbangan,
Asas Kepastian Hukum, Asas Moral, Asas Kepatutan.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berlakunya hukum perdata di Indonesia
tidak terlepas dari
pengaruh-pengaruh kekuatan politik liberal
di Belanda yang mencoba mengupayakan perubahan-perubahan mendasar
di dalam tata hukum kolonial.
Pembagian Hukum
Perdata yang demikian itu tidak sesuai dengan pembagian Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, atau dengan perkataan
lain perkataan pembagian dari KUHPerdata itu menyimpang dari pembagian Hukum
Perdata menurut ilmu pengetahuan.
Situasi
dan kondisi hukum kita dewasa inipun justru menuntut
bukan sekedar perlunya pengembangan ( development) dari peraturan perundang-undangan yang ada yang dinilai
masih memadai untuk terus dipergunakan, tetapi juga di sana
sini terdapat peraturan hukum yang memerlukan revisi, yakni peninjauan kembali (revise).
B. SARAN
Berdasarkan keadaan hukum
perdata
seperti sekarang
ini, perlu
kiranya
untuk
segera disusun hukum acara perdata nasional Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan mempersiapkan penyusunan RUU Hukum
Perdata yang muatan materinya mempertimbangkan hasil
dari berbagai kajian.
Perlu dipertimbangkan upaya harmonisasi dan sinkronisasi, baik terhadap Undang Undang ( UU yang tersebar di luar Hukum Perdata) maupun terhadap aturan-aturan hukum/perjanjian
internasional terkait yang berlaku, namun demikian tetap menjaga sistem hukum perdata nasional Indonesia sebagai hukum perdata yang terkodifikasi dan unifikasi dalam Hukum Perdata baru.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad , Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Gunung Agung, Jakarta. 2002
Abdurrahman,
Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Alumni, Bandung, 1979.
Badrulzaman, Mariam Darus ,Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit CitraAditya Bakti, Bandung, 2001
Baringbing, R.E., Simpul Mewujudkan
Spremasi Hukum, Pusat
Kajian reformasi, Jakarta, 2001
Hartono, Sunaryati, Pengembangan Yurisprudensi Tetap, Makalah
disampaikan dalam Seminar hukum
Nasional Keenam , BPHN,
Jakarta, 1994.
Kansil, C.S.T.,
Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Lubis,
M. Solly Lubis, Pengembangan Hukum Tertulis Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, dalam Seminar hukum Nasional Keenam Tahun 1994, BPHN,
Jakarta.
Pakpahan,
Normin
S, Kerjasama Dengan Negara/Organisasi Internasional, BPHN,
Jakarta, 1994.
Rahardjo,
Sacipto , Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,1986.
Radjagukguk, Erman,
Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi
: Implikasinya Bagi
Pendidikan hukum Dan Pembangunan Hukum Indonesia, disampaikan
dalam pidato Dies Natalis USU ke 44,
Medan, 20 Nopember 2001
Syahdeini,
Sutan Remy Syahdeini, Hak tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Penerbit alumni, Bandung, 1999.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata : Hukum Benda, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981.
Wignyosoebroto,Soetandyo,
Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Utrceht, E,
Pengantar Dalam hukum Indonesia, cetakan
ke sembilan, PT. Penerbitan Universitas, 1960 dan 1965,
Jakarta
[1]
Lihat pengertian
hukum menurut pendapat beberapa sarjana yang berbeda sesuai dengan sudut pandang masing-masing dalam mendefinisikan hukum. Antara lain Utrecht, Vant Kant,
Sudino Mertokusumo dan beberapa sarjana lain yang
memberikan
pengertiannya tentang
hukum.
[2] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis
dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta,2002,
hal 191.
[4] Sacipto
Rahardjo, Ilmul Hukum, Alumni,
Bandung,1986, hal
20 –21
[5] R.E. Baringbing, Simpul Mewujudkan Spremasi Hukum, Pusat Kajian reformasi,
Jakarta, 2001, hal 44
[6] Dalam Achmad
Ali, Opcit, hal 4
[7]
Erman Radjagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi :
Implikasinya Bagi
Pendidikan hukum
Dan Pembangunan
Hukum Indonesia, disampaikan
dalam pidato Dies Natalis
USU
ke $$ Meda, 20
Nopember 2001
[8] E. Utrceht, Pengantar Dalam
hukum Indonesia, cetakan ke sembilan, PT. Penerbitan Universitas,
1960 dan 1965, Jakarta
[9]
Soetandyo Wignyosoebroto,
Dari Hukum Kolonial
ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial
Politik Dalam Perkembangan Hukum
di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993, hal 19
[10]
Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1981,
hal 1.
[11]
M. Solly Lubis, Pengembangan Hukum Tertulis Peraturan Perundang-undangan
Indonesia,
dalam Seminar hukum Nasional
Keenam Tahun 1994, BPHN, Jakarta, Hal 138
[13] C.S.T. Kansil,
Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta,
1984, hal 222.
[14]
Sutan Remy Syahdeini, Hak tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah YangDihadapi Oleh Perbankan, Penerbit alumni,
Bandung, 1999, hal 212.
[15] Sunaryati Hartono, Pengembangan
Yurisprudensi Tetap,
Makalah dismpaikan
dalam Seminar
hokum Nasional Keenam , BPHN, Jakarta,
1994, hal 220.
[16]
Normin S Pakpahan, Kerjasama Dengan Negara/Organisasi
Internasional, BPHN, Jakarta,1994, hal 316.
[17]
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi
Hukum Perikatan, Penerbit CitraAditya
Bakti, Bandung, 2001,hal, 83 – 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar