Senin, 12 Agustus 2013

Tugas HUKUM BISNIS EKONOMI


KEGIATAN USAHA YANG DILARANG MENURUT UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA YANG TIDAK SEHAT

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Di  dalam  fenomena  persaingan  usaha  nasional  selalu  terdapat  issue  kondisi  struktural ekonomi, issue prilaku pro-persaingan atau anti-persaingan  dari para pelaku usaha nasional, serta issue kebijakan  persaingan  usaha nasional.  Dalam issue pertama,  perspektif  ekonomi sangatlah menonjol, untuk issue yang kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari prilaku tersebut dan perspektif hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan (code  of  conduct)  dari  prilaku  tersebut,  sedangkan  issue  yang  ketiga,  sangat  menonjol perspektif hukumnya.  Oleh karenanya,  dalam pembahasan  issue persaingan  usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya.
Dalam paper pengantar ini akan dibahas mengenai undang-undang Monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat di dalam sistem hukum nasional  Indonesia,  hal ini ditujukan  agar dapat diidentifikasi  posisi hukum persaingan   usaha   di   dalam   pembidangan   hukum   nasional   sehingga   pembaca   tidak terperangkap  pada paradigma pembidangan  hukum yang telah usang. Pembidangan  hukum yang membagi-bagi  permasalahan  hukum secara rigid pada bidang  hukum publik  (hukum negara (tata negara dan administrasi negara) dan hukum pidana) dan hukum perdata (private). Pembidangan   hukum  tersebut  tidak  mengenal  adanya  bidang  hukum  yang  merupakan kombinasi di antaranya.
Secara  umum  mengenai  eksistensi  dan  issue  di seputar   Undang-Undang   No.  5  tahun   1999   tentang   Larangan   Praktek   Monopoli   dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat “UU No. 5 / 1999”) yang sampai saat ini dianggap sebagai hukum payung dan paling komprehensif  yang mengatur issue persaingan usaha di Indonesia. Selanjutnya akan dibahas pula secara umum mengenai peraturan hukum lain yang juga memiliki substansi persaingan  usaha. Untuk peraturan  hukum lain ini akan dapat  dilihat  bahwa  ada peraturan  hukum  yang substansinya  pro-persaingan  dan ada pula yang anti persaingan. Jikalau peraturan hukum yang anti persaingan tersebut memiliki tingkat yang setara dengan “undang-undang”  maka peraturan hukum tersebut jelas kontra produktif terhadap UU No. 5 tahun 1999 karena dapat saja berlaku prinsip lex specialist derogat lexgeneralist[1]. Namun bila aturan hukum tersebut berada di bawah tingkat “undang-undangmaka dapat berlaku prinsip bahwa “hukum di atasnya mengatasi hukum di bawahnya”. Oleh karenanya sebagaimana pula diungkapkan secara implisit dalam peralihan undang-undang ini, aturan hukum yang memiliki tingkat di bawah undang-undang  bila itu kontradiktif  dengan UU No. 5 / 1999 maka aturan hukum itu secara otomatis tidak berlaku lagi.
Pada penulisan makalah ini kita akan membahas mengenai bagaimana Kegiatan Usaha Yang Dilarang Menurut Undang-Undang Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat yang mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah: Bagaimana  bagaimana Kegiatan Usaha Yang Dilarang Menurut Undang-Undang Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat ?
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga bersumber dari beberapa artikel dari internet.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan  usaha dalam bidang ekonomi.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 persaingan tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
B.  Asas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya  meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciftanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
C.  Kegiatan yang Dilarang
1.      Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2.      Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3.      Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
4.      Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
5.      Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam pasar 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar  bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6.      Jabatan  Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan  pada waktu yang bersamaan dilarang meragkap sebagai direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a.       berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b.      memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
c.       secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
7.      Pemilikan Saham
Mengenai pemilikan saham, berdasarkan pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan, antara lain :
a.       satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
b.      Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha dan pelaku kelompok usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8.      Penggabungan, Peleburan dan pengambilalihan
Sementara itu, pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
D.  Kebijakan Persaingan Usaha versus Hukum Persaingan Usaha.
Terkait dengan prihal eksistensi kebijakan persaingan usaha yang memang kental perspektif hukumnya, perlu kiranya disinggung terlebih dahulu mengenai beda antara terminologi kebijakan (policy)[2] dan hukum (“law).
Perbedaan pengertian antara terminologi Kebijakan Persaingan Usaha” (yang dalam bahasa Inggrisnya  diterjemahkan  sebagai Competition  Policy”) dengan Hukum Persaingan  Usaha (yang  dalam  bahasa  Inggrisnya  diterjemahkan  sebagai  Competition  Law)  pada  dasarnya terletak  pada keluasan  lingkup  pengertian  dan bidang  pembahasan  dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan  Usaha (Competition  Law) atau dengan kata lain bidang Hukum  Persaingan  Usaha  merupakan  salah  satu  cabang  pembahasan  dalam  Kebijakan Persaingan Usaha. Sedang pengertian dan lingkup bidang dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha.[3]
Definisi Kebijakan Persaingan Usaha disamping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga melingkupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan kuantifikasi impor dan juga melingkupi  aspek kepemilikan  intelektual  (intellectual  property).  Sehingga  apabila di dalam laporan  ini digunakan  istilah Kebijakan  Persaingan  Usaha”  maka berarti termasuk pula di dalamnya “Hukum Persaingan Usaha.
E.   Posisi Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Nasional.
Sebelum prihal aspek hukum dari persaingan usaha dibahas lebih jauh memang perlu kiranya dicapai suatu pemahaman bersama berkaitan dengan posisi hukum persaingan usaha dalam wacana sistem hukum nasional Indonesia Perlu dicatat bahwa pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu pula perkembangan  bidang hukum yang merupakan  rule of the game dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata dan KUH Dagang serta KUH Pidana yang nota bene merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mahzab Eropa Kontinental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundang- undangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung.
Kekhasan  yang sangat  menonjol  dari produk  perundang-undangan  yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya  dimana telah terlingkupinya  seluruh aspek dari bidang- bidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum  yang  selama  ini  dianut  (hukum  perdata  dan  hukum  publik)  dalam  sistem  hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka bidang hukumnya adalah hukum ekonomi. Untuk itu layak dicermati pendapat para pakar hukum di bawah ini. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa: [4]
"Kalau metode penelitian dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata murni, maka hukum ekonomi Indonesia telah memerlukan metode penelitian dan penyajian yang inter-disipliner dan transnasional. Interdisipliner, karena:
-     Hukum Ekonomi  Indonesia  tidak hanya bersifat hukum perdata,  tetapi juga berkaitan erat dengan hukum Administrasi Negara, Hukum Antar Wewenang, Hukum Pidana bahkan juga tidak mengabaikan Hukum Publik Internasional dan Hukum Perdata Internasional.
-     Hukum  Internasional  Ekonomi  Indonesia  memerlukan  landasan  pemikiran bidang-bidang non-hukum seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan bahkan juga futurologi."
Sri Redjeki Hartono[5]  berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu   mengakomodasikan   dua   aspek   hukum   sekaligus   sebagai   suatu   kajian   yang komprehensif.  Dua  aspek  hukum  itu  meliputi  aspek  hukum  publik  maupun  aspek  hukum perdata.
Agus Brotosusilo[6]  berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
(1) Hukum Tata Negara.
(2) Hukum Administrasi Negara.
(3) Hukum Pribadi.
(4) Hukum Harta Kekayaan:
a) Hukum Benda:
i.    Hukum Benda Tetap.
ii.  Hukum Benda Lepas.
     b)  Hukum Perikatan:
i.    Hukum Perjanjian.
ii.  Hukum Penyelewengan Perdata.
 iii. Hukum Perikatan lainnya.
c) Hukum Hak Imateriel.
(5) Hukum Keluarga.
(6) Hukum Waris.
(7) Hukum Pidana
Masing  masing  bidang  hukum  terdiri  dari  hukum  ajektif  (formil)  dan  hukum  substantif (materiel).   Pembedaan   tersebut   di  atas  bukan   merupakan   pengkotak-kotakkan,   karena seringkali suatu sikap-tindak melibatkan lebih dari satu bidang hukum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkembangan tersebut  menimbulkan  berbagai  spesialisasi  baru di bidang  hukum.  Misalnya  saja, dikenal adanya: hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya.  Ciri-ciri bentuk hukum baru seperti ini tampak sangat nyata di bidang hukum ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan. Suatu bidang spesialisasi hukum kadang-kadang mencakup beberapa bidang tata hukum sekaligus.
Sesuai  dengan  pandangan-pandangan   di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  memang  hukum ekonomi  memiliki  dimensi  baik  hukum  publik  dan  hukum  perdata  (privat).  Oleh  karena hukum persaingan usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi maka dapat dikatakan pula bahwa hukum persaingan usaha juga memiliki dimensi bidang hukum tata negara (lembaga dan instansi resmi, pusat dan daerah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan  dan eksistensi Komisi Pengawas  Persaingan  Usaha); hukum administrasi negara (pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut); bidang hukum perdata (seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus  persaingan  usaha); dan ada bidang pidananya (sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999), Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata saja tapi lebih luas lagi yaitu melikupi hukum publik (hukum negara dan pidana).[7]
F. Undang-undang  No.  5   / 1999  tentang  Larangan  Praktek  Monopoli  dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Di bawah ini dipaparkan secara ringkas substansi dari UU No. 5 / 1999 sebagaimana berikut.
1.   Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi:
 Praktek  Oligopoli  (perjanjian  dua pelaku  usaha  atau lebih untuk  menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4).
 Penetapan Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga   (kecuali   dalam   usaha   patungan   atau   berdasar   undang-undang); diskriminasi harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8).
 Pembagian wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan  wilayah  pemasaran  atau  alokasi  pasar  sehingga  dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9).
 Pemboikotan  (perjanjian  dua  pelaku  usaha  atau  lebih  untuk  menghalangi pelaku  usaha  lain  untuk  melakukan  usaha  yang  sama  atau  menolak  untuk menjual produk pelaku usaha lain, Pasal 10)
     Kartel  (perjanjian  dua  pelaku  usaha  atau  lebih  untuk  mempengaruhi  harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan  praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11).
     Trust  (perjanjian  dua  pelaku  usaha  atau  lebih  untuk  membentuk  gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan  kelangsungan  perusahaan masing- masing   dengan   tujuan   untuk   mengontrol   produksi   dan   atau   pemasaran sehingga dapat mengakibatkan  praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12).
 Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13).
 Integrasi  Vertikal  (perjanjian  dua pelaku  usaha  atau  lebih  untuk  menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14).
 Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa  penerima  pasokan  hanya  akan  memasok  atau  tidak  akan  memasok produk  tersebut  kepada  pelaku  usaha  lain;  harus  bersedia  membeli  produk lainnya dari pemasok;  atau mengenai  harga atau potongan  harga yang akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain, Pasal 15).
 Perjanjian  denga  Pihak  Luar  Negeri  (perjanjian  dengan  pelaku  usaha  luar negeri  yang  dapat  mengakibatkan  praktek  monopoli  dan  persaingan  usaha tidak sehat, Pasal 16).
2.   Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai berikut:
     Monopoli  (pelaku  usaha  dilarang  melakukan  penguasaan  atas  produksi  dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 17).
     Monopsoni   (pelaku   usaha   dilarang   menguasai   penerimaan   pasokan   atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18).
     Penguasaan  Pasar  (dilarang  melakukan  satu  atau  beberapa  kegiatan,  sendiri atau  bersama  yang  dapat  mengakibatkan  praktek  monopoli  dan  persaingan usaha  tidak  sehat  berupa:  menghalangi  pelaku  usaha  lain  untuk  melakukan usaha  yang  sama;  atau  menghalangi  konsumen  untuk  bertransaksi  dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing  (Pasal  20);  dengan  curang  menetapkan  biaya  produksi  dan  biaya lainnya (Pasal 21).
     Persekongkolan  (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24).
3.   Penyalahgunaan Posisi Dominan:
     Dilarang menggunakan  posisi dominan secara langsung maupun tidak untuk menetapkan  syarat  perdagangan  guna  menghalangi  konsumen;  membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki pasar bersangkutan. Pasal 25.
     Jabatan   rangkap   (dilarang   merangkap   jabatan   direktur/komisaris   di   dua perusahaan    atau   lebih   bila   perusahaan    lainnya;   berada   dalam   pasar bersangkutan  yang sama;  atau memiliki  keterkaitan  dalam bidang  dan jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26.
 Pemilikan   saham   (dilarang   pemilikan   saham   mayoritas   pada   beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan  praktek  monopoli  dan persaingan  usaha  tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila mengakibatkan  penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29.
4.    Undang-undang ini menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki kewenangan yang signifikan untuk tidak hanya mengawasi pelaksanaan undang-undang ini tetapi juga untuk melakukan tugas penilaian perjanjian, kegiatan usaha, penyalahgunaan  posisi dominan, melakukan tindakan berdasar kewenangan, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta berwenang untuk menerima laporan, penelitian, penyelidikan, memanggil pelaku usaha dan saksi, meminta keterangan institusi pemerintah, memutuskan dan menjatuhkan  sanksi  administratif  yang  berkaitan  dengan  kasus  dugaan pelanggaran undang-undang ini. Pasal 30-37.
5.    Undang-undang  ini juga menetapkan  suatu tata cara khusus dalam penanganan perkara persaingan usaha. Dan terdapat ketentuan acara khusus bagi lembaga peradilan dalam menangani  kasus persaingan  usaha seperti ditiadakannya  upaya banding ke Pengadilan Tinggi yang ada adalah upaya kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri atas kasus persaingan usaha. Pasal 38-46.
6.     Sanksi   dalam   undang-undang    ini   dibagi   dua   yaitu   sanksi   administratif (kewenangan  KPPU)  dan sanksi  pidana  (kewenangan  peradilan  umum).  Sanksi administratif bisa terdiri dari pembatalan perjanjian, penghentian integrasi vertikal, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan  posisi dominan, pembatalan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan,  penetapan ganti rugi, dan atau pengenaan denda sebesar antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar.   Sedangkan untuk sanksi pidana dapat terdiri dari pidana pokok berupa pidana denda sebesar Rp 1 miliar sampai Rp 100 miliar rupiah dengan pidana kurungan antara 3 sampai 6 bulan serta pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, larangan untuk menduduki posis direksi atau komisaris selama 2 sampai 5 tahun, atau penghentian kegiatan atau tindakan usaha yang menyebabkan kerugian. Pasal 47-49.
7.   Undang-undang  ini  juga  menetapkan  adanya  pengecualian  berlakunya  aturan dalam undang-undang (Pasal 50-51) untuk:
 Perbuatan  dan atau perjanjian  itu untuk melaksanakan  peraturan  perundang- undangan yang berlaku[8];
Perjanjian yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual dan waralaba;
 Yang berkaitan dengan standar teknis
 Perjanjian dalam kerangka keagenan;
 Perjanjian kerjasama penelitian;
 Perjanjian internasional yang telah diratifikasi;
   Perjanjian dan atau perbuatan dalam rangka ekspor dengan tidak mengganggu pasokan dalam negeri;
 Pelaku usaha kecil;
 Kegiatan usaha koperasi yang melayani anggotanya.
Kegiatan yang dilakukan oleh BUMN atau badan atau lembaga yang dibentuk pemerintah.
G. Peraturan Perundang-undangan Umum dan Sektoral Bersubstansi Persaingan Usaha
Di bawah ini dipaparkan mengenai beberapa aturan perundang-undangan  di luar UU No. 5 tahun 1999, baik yang umum (seperti KUH Per dan KUHP) maupun sektoral (seperti UU Perseroan Terbatas dll) yang memiliki substansi yang secara signifikan menyinggung  issue persaingan usaha. Terdapat aturan perundang-undangan  yang sifatnya mendukung kebijakan pro-persaingan maupun yang menghambat atau potensial menghambat persaingan.
Tidak dibahasnya produk peraturan di bawah tingkat undang-undang” seperti peraturan pemerintah,  kepres, inpres, dan seterusnya yang “anti persaingan,  karena memang dengan adanya  UU  No.  5  tahun  1999,  peraturan   yang  memiliki  tingkat  dibawahnya   apabila bertentangan secara hukum otomatis tidak lagi valid. Sedangkan bila aturan tersebut memiliki kesamaan tingkat (hirarki) dengan UU No. 5 tahun 1999, maka potensi konflik dalam law enforcement-nya  boleh jadi ada. Mengingat  adanya asas hukum lex specialist derogat lex generalist yang artinya “hukum (bersubstansi) khusus dapat mengenyampingkan hukum (bersubstansi) umum”.
Sebagai  catatan tambahan  bahwa kebanyakan  praktek usaha yang menghambat  persaingan usaha  atau  praktek  usaha  tidak  sehat  selama  ini, sebagian  besar  mendapat  legitimasi  dari peraturan  di  bawah  undang-undang  (seperti  peraturan  pemerintah,  kepres  dst.).  Semakin umum  substansi  pengaturan  dari  sebuah  undang-undang  (yang  merupakan  produk  hukum hasil  kesepakatan  lembaga  legislatif  dan  eksekutif),  semakin  besar  potensi  penyimpangan akan  terjadi  di  tingkat  peraturan  pelaksanaannya  (yang  merupakan  produk  hukum  dari lembaga eksekutif). Lain perkataan bahwa rata-rata produk hukum setingkat undang-undang selama ini secara normatif sangat baik dan tidak banyak yang mendistorsi secara langsung dunia persaingan  usaha Indonesia,  karena memang  distorsi itu terjadi pada produk hukum yang menjadi peraturan pelaksanaannya.

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Di antara berbagai ketentuan yang terdapat pada KUH Perdata yang dapat melindungi pelaku usaha dari tindak pelaku usaha lain yang merugikan adalah Pasal 1365. Pasal 1365 ini yang terkait dengan perihal perbuatan melanggar hukum dalam lingkup KUH perdata. Menurut pasa ini, setiap pihak yang menderita kerugian akibat suatu persaingan yang tidak wajar, dapat menuntut  ganti rugi apabila  dapat  dibuktikan  bahwa  perbuatan  tersebut  sebagai  perbuatan yang "melanggar hukum".
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Di dalam  Pasal  382 bis KUH  Pidana  memberikan  ancaman  pidana  penjara  terhadap  atau kepada orang yang melakukan "persaingan curang". Seseorang disebut melakukan persaingan curang menurut pasal ini adalah apabila dapat dibuktikan memenuhi unsur-unsur bahwa ia melakukan suatu perbuatan penipuan; penipuan itu dilakukan untuk memperdayai masyarakat atau orang lain; perbuatan itu dilakukan untuk menarik keuntungan di dalam usahanya atau usaha orang lain; dan perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya. Ketiadaan pemenuhan salah satu unsur, tidak dapat dipidana oleh pasal ini.
3.      Undang-undang  No.  11  Tahun  1967  tentang  Ketentuan-ketentuan   Pokok  Pertambangan (Umum).
Dari substansi Pasal 5 UU No. 11 / 1967 yang menyatakan bahwa “usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri; perusahaan negara; perusahaan daerah; perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah; koperasi; badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat; perusahaan dengan modal bersama antara Negara, dan/atau Daerah dengan koperasi dan/atau badan/perseorangan swasta yang memenuhi syarat; dan pertambangan rakyat; yang nota bene seluruh pelaku usaha, maka dapat dikatakan  bahwa secara umum,  undang-undang  ini pro-kompetisi.  Adapun  beberapa persyaratan dan kualifikasi bidang pertambangan, sejauh ini dapat ditolelir.
4.      Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Undang-undang No. 8 Tahun 1971 (UU No. 8 / 1971) ini merupakan produk undang-undang lex specialis dari UU No. 11 / 1967 tentang Pertambangan (Umum) yang lex generalis”. Pada  hakekatnya  bidang  pertambangan  adalah  bidang  yang  terbuka  akan  kompetisi  para pelaku usaha namun dengan adanya UU No. 8 / 1971 ini bidang pertambangan minyak dan gas bumi menjadi tertutup.
Ketertutupan ini dapat dilihat di dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa kepada Pertamina (Badan Usaha Milik Negara)  disediakan  seluruh  wilayah  hukum pertambangan  Indonesia sepanjang  mengenai  pertambangan  minyak  dan  gas  bumi”.    Artinya  bahwa  Pertamina memiliki hak monopoli mutlak terhadap seluruh lahan (termasuk pula) usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Adapun mengenai eksistensi Production Sharing Contract (PSC), sesuai dengan Pasal 12, diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina apakah akan membuatnya atau tidak. Dan kepada pihak mana Pertamina akan membuat PSC juga diserahkan keputusannya kepada Pertamina. Namun begitu PSC tersebut baru berlaku, apabila telah mendapat persetujuan dari Presiden.
5.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindustrian.
Di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian dinyatakan bahwa “Pemerintah melakukan pengaturan industri, untuk mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik secara sehat dan berhasil guna; mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur; dan mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Namun  Pasal  12  menyatakan  bahwa  “untuk  mendorong  pengembangan   cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan”. Sedangkan menurut penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan kemudahan dan/atau perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah untuk mendorong pengembangan cabang industri dan jenis industri adalah antara lain dalam bidang perpajakan, permodalan dan perbankan, bea masuk dan cukai, sertifikat ekspor dan lain sebagainya”.
Pasal 12 di ataslah yang selama ini menjadi biang keladi legitimasi bagi praktek-praktek persaingan usaha yang negatif di bidang industri yang dilindungi dari pemerintah. Otoritas Pemerintah untuk melakukan tindak perlindungan tersebut tidak memiliki batasan (lihat penjelasan Pasal 12 di atas) dan dapat diinterprestasikan  se-enak oleh pemerintah. Untuk beberapa  kasus,  tindakan  perlindungan  memang  diperlukan,  seperti  untuk  infant  industry, namun  selama  itu  dilakukan   secara  obyektif  dalam  kriterianya,   transparan,   dan  tidak diskriminatif serta jelas batas waktunya.
6.      Undang-undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
Pada hakekatnya UU No. 15 / 1985 sesuai dengan Pasal 7 ini menganut prinsip pemberian monopoli usaha kelistrikan kepada Badan Usaha Milik Negara (PT PLN) sebagai representasi Negara  melalui  pemberian  Kuasa  Usaha  Ketenagalistrikan.  Namun  jikalau  untuk  daerah- daerah tertentu BUMN tersebut tidak bisa / belum sanggup untuk menyediakan listrik maka barulah  diberi  kesempatan  kepada  pihak  koperasi  atau  swasta  untuk  menyediakan  listrik melalui mekanisme pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan oleh Pemerintah.
7.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam Undang-Undang  No. 1 tahun 1995 disinggung masalah persaingan usaha antara lain pada Bab VII tentang Penggabungan,  Peleburan dan Pengambilalihan,  tepatnya pada Pasal 104  yang  menyatakan  bahwa  “perbuatan  hukum  penggabungan,  peleburan,  dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan dan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha”. Dan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan tidak boleh mengurangi  hak  pemegang  saham  minoritas  untuk  menjual  sahamnya  dengan  harga  yang wajar. Ketentuan dalam undang-undang  ini kemudian dipertegas dan dielaborasi di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah  No. 27/1998 tentang Penggabungan,  Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Selain itu Pasal 5 peraturan pemerintah ini pun menyatakan bahwa “Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan juga memperhatikan kepentingan kreditor.”
8.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Substansi aturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyinggung  permasalahan  persaingan  usaha, khususnya  persaingan  dalam kegiatan  Pasar Modal. Dalam substansi beberapa aturan ditegaskan adanya kebutuhan akan kegiatan pasar modal yang wajar (fair) dan menjunjung persaingan yang sehat, seperti pada Pasal 4, Pasal 7 (1), Pasal 10, Pasal 14 (1) dan (2), Selain itu, ada 8 pasal (Pasal 35 sampai dengan Pasal 42) yang mengatur mengenai pedoman perilaku di pasar modal seperti perusahaan efek dan penasehat investasi dilarang untuk mengadakan tekanan kepada nasabah, mengungkapkan informasi mengenai nasabah, memberikan  informasi salah kepada nasabah,  berkolusi dengan pihak yang terafiliasi yang merugikan   pihak  yang  tidak  terafiliasi   dll.  Pasal  84  menyatakan   bahwa  emiten  atau perusahaan  publik yang melakukan  penggabungan,  peleburan,  keterbukaan,  kewajaran  dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan  yang berlaku. Sedangkan  pada  Bab  XI  undang-undang  ini  diatur  tentang  masalah  penipuan,  manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam (insider trading).
9.      Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Undang-Undang   No.   9  Tahun   1995   tentang   Usaha   Kecil   pun   dalam   pengaturannya menyinggung masalah persaingan antara lain dalam Bab VI tentang Iklim Usaha pada Pasal 6 dan Pasal 8. Pasal 8 menyatakan bahwa pemerintah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan  peraturan  perundang-undangan  dan kebijaksanaan  antara lain untuk mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil dan mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil.
10.  Undang-Undang No. 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Dalam beberapa  aturan dalam undang-undang  ini diungkapkan  adanya kebutuhan  kegiatan perdagangan berjangka yang wajar (fair) seperti dalam Pasal 5, Pasal 16, dan Pasal 57. Sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun  1999  tentang  Penyelenggaraan  Perdagangan  Berjangka  Komoditi  juga  dinyatakan adanya larangan conflict of interest dari pihak-pihak yang terafiliasi seperti pada Pasal 10.
11.  Undang-Undang No. 10 tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang ini, dalam kaitan dengan issue persaingan usaha, menyatakan larangan akan adanya  conflict  of  interest yang  menyebabkan  kegiatan  perbankan  menjadi  tidak  wajar (unfair) seperti pada Pasal 10 dan Pasal 11. Sedangkan pada pasal 16 dinyatakan bahwa ada kebutuhan akan persaingan yang sehat (fair) di dalam kegiatan perbangkan.  Selain dari itu Pasal  28 diatur  mengenai  mekanisme  merger,  konsolidasi,  dan akuisisi  di dalam kegiatan usaha perbankan
12.  Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Di beberapa negara, seperti Australia juga di Canada dan India, issue mengenai persaingan usaha  dan  perlindungan   konsumen  disatukan  dalam  satu  produk  peraturan  perundang- undangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang kedua issue itu sangatlah dekat yaitu terkait dengan perlindungan kepentingan ekonomi konsumen. Karena salah satu tujuan dari kebijakan persaingan  usaha adalah untuk memberi keuntungan  kepada konsumen  misalnya berupa harga dan pelayanan yang kompetitif. Biasanya pengadopsian issue perlindungan konsumen di dalam produk hukum persaingan usaha ialah melalui segmen unfair business practices atau dengan terjemahan bebasnya “praktek usaha tidak jujur / sehat. Kalaupun di beberapa negara kebijakan persaingan usaha dan kebijakan perlindungan konsumen terpisah ke dalam dua produk perundang-undangan, namun banyak negara yang menganut pemisahan tersebut  menyerahkan  penanganan  pengawasan  dan  pembinaan  ke  satu  badan  yang  sama seperti di Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat.
Berkaitan dengan eksistensi UU No. 5 / 1999 tentang persaingan usaha di atas, issue unfair business  practices atau  diterjemahkan  dengan  “praktek  persaingan  usaha  tidak  sehat” ternyata penekanannya hanya pada hubungan antar pelaku usaha tidak melingkupi hubungan dengan konsumen. Namun begitu, kenyataannya adalah bahwa terkadang pelaku usaha pun berperan sebagai “konsumen pada saat memerankan diri sebagai pembeli” meskipun masuk ke  dalam  katagori  “konsumen  antara[9].  Sedangkan  di  dalam  UU  No.  8  /  1999  lingkup konsumen yang di diatur adalah konsumen dalam katagori konsumen akhir”.[10]
Adapun issue yang telah dibahas oleh UU No. 5 / 1999 kemudian dibahas pula oleh UU No. 8 / 1999 adalah:
a.  Adanya larangan  perlakuan  diskriminasi  oleh pelaku usaha kepada konsumen  yang diatur oleh UU No. 8 / 1999 di dalam Pasal 7
b.      Perlindungan posisi tawar-menawar  atau menghindari adanya penyalahgunaan  posisi dominan terhadap konsumen, dalam UU No. 8 / 1999 dilakukan melalui pengaturan mengenai pencantuman klausula baku” (Pasal 18).
Namun begitu secara umum UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dinilai cukup mendukung UU No.5/1999 terutama pada aspek penegakan praktek persaingan usaha jujur / sehat.  Atau paling  tidak, UU No.8/1999 tidak bertentangan  dengan  UU No.5/1999. Meskipun  dinilai  oleh  sementara  kalangan  bahwa  UU  No.  8  /  1999  belum  dapat  secara sempurna melindungi konsumen.
13.  Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pasal 10 dari undang-undang ini menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.”
Sedangkan   dalam  penjelasan   terhadap   pasal   tersebut   dinyatakan   bahwa   Pasal   10  ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyeleggara telekomunikasi dalam melakukan   kegiatannya.   Peraturan   perundang-undangan   yang  berlaku  dimaksud   adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.
Namun begitu ternyata itikad baik dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghapus  monopoli dan oligopoli dalam industri telekomunikasi  melalui penyusunan UU No. 36 tentang Telekomunikasi, agak masih setengah hati. Hal tersebut terbukti dengan pencantuman substansi Pasal 61 Ayat 1 yang menyatakan bahwa hak-hak tertentu (hak eksklusivitas)  yang  diberikan  oleh  Pemerintah  kepada  Badan  Penyelenggara  untuk  jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1989 masih berlaku.
Pencantuman Pasal 61 tersebut, agaknya dilatar belakangi oleh keinginan Pemerintah untuk menghormati komitmennya. Komitmen yang diberikan kepada investor asing sebelum pelaksanaan go public dua BUMN yaitu PT Telkom dan Indosat. Pemerintah pada saat itu menganugrahkan hak eksklusif kepada Telkom dan Indosat serta Satelindo (sebagai anak perusahaan  Indosat).  Hak  eksklusif  untuk  memonopoli  jaringan  telepon  sambungan  lokal sampai   2010   dan   jarak   jauh   (SLJJ)   sampai   2005   kepada   Telkom.   Dan   sambungan internasional  (SLI)  kepada  Indosat  dan  Satelindo  sampai  2004.  Meskipun  dimungkinkan adanya percepatan jangka waktu hak eksklusif tersebut sesuai dengan Pasal 61 Ayat 2.
14.  Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Undang-undang ini dinilai cukup mendukung persaingan usaha. Hal ini tercermin antara lain dari  Ayat  1  Pasal  17  undang-undang   ini  yang  menyatakan  bahwa  “Pengikatan  dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. Namun begitu Ayat 3 dari Pasal 17 ini dinyatakan bahwa “Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. Selain dari itu Pasal 20 menyatakan bahwa pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan  satu pekerjaan  konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum atau pun pelelangan terbatas.
15.  Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pasal 36 dari peraturan pemerintah ini mengatur mengenai tindakan merger dan konsolidasi di antara perusahaan-perusahaan  yang bergerak di bidang asuransi dan reasuransi. Dalam pasal ini dilakukan pembatasan bahwa kegiatan restrukturisasi  usaha hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi kerugian dengan perusahaan asuransi kerugian atau dengan perusahaan reasuransi, untuk membentuk perusahaan asuransi kerugian; perusahaan reasuransi dengan perusahaan   reasuransi   atau   dengan   perusahaan   asuransi   kerugian,   untuk   membentuk perusahaan reasuransi; atau perusahaan asuransi jiwa dengan perusahaan asuransi jiwa, untuk membentuk perusahaan asuransi jiwa.
16.  Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.
Peraturan pemerintah ini memiliki substansi yang mengatur mengenai tindakan dumping dan subsidi dalam kerangka persaingan usaha trans-nasional. Dinyatakan dalam peraturan- pemerintah ini bahwa impor barang yang dilakukan dengan cara dumping atau mengandung subsidi  dari negara  pengekspor  dapat dikenakan  bea masuk  antidumping  dana bea masuk imbalan  (untuk  impor  bersubsidi)  jika menyebabkan  kerugian.  Kerugian  tersebut didefinisikan   dalam   Pasal   1   Ayat   11   dengan   kerugian   industri   dalam   negeri   yang memproduksi  barang sejenis; atau ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi  barang  sejenis;  atau  terhalangnya  pengembangan  industri  barang  sejenis  di dalam negeri.
Meskipun aturan ini dinilai pro persaingan namun tetap dianggap memiliki potensi anti persaingan seperti bila pengenaan bea tambahan tersebut justru ditujukan untuk proteksi bagi kepentingan kelompok usaha di bidang industri tertentu.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Persaingan usaha merupakan cara untuk menjamin tercapainya alokasi sumber daya dengan tepat, menjamin konsumen mendapatkan barang/jasa dengan harga dan kualitas terbaik dan merangsang peningkatan efisiensi perusahaan.
Agenda  kedepan  yang  harus  dilakukan  tentunya  mendorong  agar  mekanisme  pasar  bisa berjalan  dengan  menghilangkan  intervensi  yang mendistorsi  pasar. Atau, dengan  kata lain membuka  seluas-luasnya  kepada  para  pelaku  usaha  untuk  memasuki  pasar.  Kebijakan- kebijakan  yang  mungkin  mendistorsi  pasar  adalah  kebijakan  hambatan  perdagangan,  tata niaga perdagangan,  kebijakan investasi yang membatasi  penanaman  modal, dan kebijakan- kebijakan lain yang bersifat diskriminatif.
Oleh karena itu, deregulasi dan liberalisasi ekonomi perlu secepatnya dilakukan yang tidak hanya melingkupi deregulasi dan liberalisasi dengan perekonomian luar negeri tapi juga deregulasi dan liberalisasi perdagangan di dan antar daerah karena secara langsung berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah.
Setelah mekanisme pasar bejalan dengan persaingan yang terjadi antar pelaku usaha, KPPU sebagai lembaga yang bertugas  mengawasi  jalannya persaingan  usaha harus meningkatkan kemampuannya secara kelembagaan untuk mengawasi prilaku anti persaingan, -  seperti: monopoli/monopsoni,  kartel, kesepakatan  harga dan lain-lain seperti yang tercantum dalam undang-undang - baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Selain itu, juga tentunya mengawasi  peraturan  pemerintah  pusat atau daerah  yang memberikan  peluang  perusahaan melakukan tindakan anti persaingan seperti tata niaga yang memberikan hak monopoli/monopsoni.
Penegakan  Undang-undang  Nomor  5/1999  tidak  hanya  menjadi  tugas  KPPU  tapi  juga menjadi  tugas  aparat  penegak  hukum  yang  lain  yaitu  kejaksaan,  kepolisian,  hakim  dan pengacara.   Kesiapan   dari  aparat   penegak   hukum  ini  sangat   penting   untuk   menjamin penegakan hukum persaingan usaha ini.

B. SARAN
Persaingan usaha dan kebijakan perlindungan konsumen terpisah ke dalam dua produk perundang-undangan, namun dalam hal ini Negara hendaknya   menyerahkan  penanganan  pengawasan  dan  pembinaan  ke  satu  badan  yang  sama.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi penjelasan undang-undang anti Monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dan  bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, serta bisa dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang Undang-undang Monopoli.

DAFTAR PUSTAKA
A.    BUKU-BUKU
Vautier, Kerrin M. and Lloyd, Peter J., International Trade and Competition Policy: CER,APEC and The WTO, Institute of Policy Studies Victoria University of Wellington, New Zealand: 1997.
Sunaryati Hartono, C.F.G., "Hukum tentang Pembangunan Indonesia", Penerbit Bina Cipta, Bandung,

Sri Redjeki Hartono, “Kapita Selekta Hukum Ekonomi”, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000.

Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada Diskusi antar Bagian di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994. Hal. 5

Undang-undang  No.  11  Tahun  1967  tentang  Ketentuan-ketentuan   Pokok  Pertambangan (Umum).

Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindustrian

B.     UNDANG-UNDANG
Undang-undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Undang-Undang No. 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Undang-Undang No. 10 tahun 1998 jo. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

C.    PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan



[1] Aturan hukum yang lebih khusus mengabaikan aturan hukum yang umum.
[2] Sering terjadi salah kaprah dalam penggunaan terminologi kebijakan dan kebijaksanaan. Sebagian orang menyamakan arti kedua istilah tersebut padahal pada hakekatnya berbeda. Kebijakan yang berpadanan dengan istilah bahasa Inggrisnya “policy” pastilah berbeda dengan kebijaksanaan” yang berpadanan dengan istilah dalam bahasa Inggris discration. Kesalahan penggunaan istilah ini bisa sangat fatal, karena galibnya kebijakan itu hampir selalu sejalan dengan hukum sedangkan  kebijaksanaan” cenderung melanggar hukum (meski kebanyakan untuk kebaikan umum) karena bentuknya bisa merupakan dispensasi terhadap aturan hukum yang ada.
[3] Vautier, Kerrin M. and Lloyd, Peter J., International Trade and Competition Policy: CER,APEC and The WTO, Institute of Policy Studies Victoria University of Wellington, New Zealand: 1997. Hal.: 3
[4] Sunaryati Hartono, C.F.G., "Hukum tentang Pembangunan Indonesia", Penerbit Bina Cipta, Bandung, Hal. 60
[5] Sri Redjeki Hartono, “Kapita Selekta Hukum Ekonomi”, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000. Hal. 39
[6] Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada Diskusi antar Bagian di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994. Hal. 5
[7] Sebagai catatan. Keberadaan konvensi-konvesi atau kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang perekonomian maupun bisnis tidak dapat dijadikan alasan bagi adanya pembidangan hukum yang tersendiri untuk mewadahinya. Alasannya adalah bahwa efektivitas dan positivitas dari konvensi dan kesepakatan internasional tersebut baru terjadi bila terdapat tindakan hukum nasional berupa ratifikasi dari DPR yang berarti tindakan pengadopsian kedalam sistem hukum nasional, yang berarti pula setara dengan ketentuan yang berhierarki undang-undang
[8] Menurut pemahaman  KPPU yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan  di sini adalah produk peraturan perundang-undangan  setingkat “undang-undang atau di atasnya
[9] Konsumen Antara adalah konsumen yang mengkonsumsi suatu produk sebagai suatu input dari  proses produksi lanjutan
[10] Konsumen  Akhir  adalah  konsumen  yang  menkonsumsi  suatu  produk  dengan  tanpa  tujuan  untuk menjadikannya sebagai input dari suatu produksi lanjutan. Sedangkan definisi yang diberikan oleh UU No.8 /1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DAN TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG Topiqtrend SEMOGA SUKSES SELALU