TRANSFER PRICING
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang masalah
Memasuki
abad 21, Integrasi ekonomi antar Negara merupakan fenomena yang menarik.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat arus informasi, barang
produksi, uang, manusia dan bahkan manufaktur, melintasi batas territorial
suatu Negara dengan mudah dan murah. Globalisasi tersebut meliputi aktivitas
manufaktur, jasa dan investasi.
Salah satu
karakteristik dari proses perkembangan tersebut adalah munculnya perusahaan
multinasional, yaitu perusahaan yang berupa satu grup perusahaan asosiasi
(entitas) yang beroperasi di berbagai Negara. Secara bertahap, perusahaan
multinasional ini mmenjadi kekuatan ekonomi dengan tingkat strategi yang
kompleks. Relasi komersial lintas perabatasan seperti usaha patungan (Joint Venture),
lisensi, dan kesepakatan distribusi dengan mudahnya dapat diatasi dengan
fasilitas ketentuan hokum yang diatur menurut kesepakatan internasional,
seperti WTO, GATT, TRIPs, Konvensi-konvensi lainnya, seperti Paris , konvensi
New York dan Konvesi Berne.
Salah satu
masalah yang timbul dari aktivitas komersial antar grup adalah penentuan harga
atau balas jasa/imbalan yang di berikan sehubungan dengan penyerahan barang,
jasa atau pengalihan teknologi antar anggota grup. Anggota grup ini berupa
entitas legal mandiri atau devisi dari suatu entitas legal.
Penentuan
transfer pricing atas transaksi antar anggota grup suatu perusahaan
multinasional telah lama merupakan topic diskusi dan studi para otoritas pajak
dan bea cukai, perencanaan (konsultan) pajak, akuntan, konsultan hokum, dan
para akademisi. Berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan baik
unilateral, bilateral maupun multilateral telah diupayakan untuk mengantisipasi
dampak negative transfer pricing terhadap Negara.
Indoneia
adalah salah satu Negara yang telah melakukan upaya untuk mengantisipasi dampak
Negatif transfer pricing tersebut. Dampak negative transfer pricing diyakini
mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu Negara
karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya
dari Negara-negara yang menerapkan tariff pajak tinggi (high tax countries) ke
Negara-negara yang menerapkan tariff pajak rendah (low tax countries).
Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan undang-undang nomor 17 tahun 2000 diatur wewenang direktur jenderal
pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan atas transaksi
antar wajib pajak yang mempinyai hubungan istimewa.
Hubungan
istimewa antara wajib pajak badan dapat terjadi karena pemilikan atau
penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih
atau antara beberapa badan yang 25 % atau lebih sahamnya dimiliki oleh uatu
badan.
Hubungan
istimewa untuk wajib pajak orang pribadi dapat terjadi karena hubungan keluarga
sedarah atau semendadalam garis lurus atau ke samping suatu derajat. Hubungan
Istimewa antara wajib pajak orang pribadi dianggap terjadi misalnya antara
ayah, ibu, anak saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan
istimewa dapat mengakibatkan ketidakwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang
direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Secara universal ttransaksasi
antara wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah
transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan
penghasilan, dasar pengenaan pajak (tax base) atau biaya dari satu wajib pajak
kepada wajib pajak lain yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah
pajak terhutang atas wajib pajak wajib pajak yang mempunyai hubungan istimwea
tersebut.
Ketikwajaran
harga, biaya, atau imbalan lain yeng direalisasikan dalam suatu transaksi usaha
tersebut di atas dapat terjadi pada :
1. Harga jual
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum
4. Pembebanan bunga atas pinjaman oleh
pemegang saham
5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise,
sewa royalty, imbalan jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa
lainnya.
6. Pembelian harta perusahaan oleh
pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih
rendah dari harga pasar.
7. Penjualan pada pihak luar negeri
melalui ppihak ketiga yang kurang atau tidak mempunyai subtansi-subtansi usaha.
Perkembangan dunia usaha saat ini yang demikian cepat,
sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode dunia
usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha, menimbulkan bentuk dan
variasi transfer pricing dapat tidak jterbatas.
Penyebabnya
adalah belum tersedianya data pembanding untuk menentukan tingkat kewajaran
transaksi antara konglomerasi dalam negeri dan luar negeri yang mempunyai
hubungan istimewa (related parties) serta terkait dengan sejumlah kepentingan
yang melindunginya.
Di
Indonesia, sebagaimana Negara berkembang lainnya, karena kurangnya akses data
transfer pricing, belum cukup adanya studi kasus aplikasi transfer pricing oleh
beberapa konglomerasi. Penyebabnya adalah belum tersedianya data pembanding
untuk menentukan tingkat kewajaran ttransaksi antara konglomerasi dalam negeri
dan luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa serta terkait dengan sejumlah
kepentingan yang melindunginya.
Menurut R.
folsom dan M. Gordon dalam bukunya : international business transactions
mengemukakan bahwa persoalan pokok yang dihadapi sehubungan dengan investasi
asing, salah satunya adalah transfer pricing. Masalah transfer pricing
menimbulkan sejumlah kepentingan yang melindungi dan sulitnya menyelesaikan
masalah tersebut, anatara lain menyangkut bea cukai, ketentuan anti dumping,
dan persaingan usaha tidak sehat. Kesemuanya pada umumnya berkaitan dengan
transfer pricing. Meskipun beberapa perusahaan itu berkeinginan untuk
menyesuaikan harga secara wajar dalam satu kebijakan namun hal itu langsung
menimbulkan pertentangan dari perusahaan-perusahaan lainnya.
Sebagian
besar penanaman modal asing tersebut bergerak dibidang manufaktur dan mempunyai
kaitan intern perusahaan yang cukup substansial dengan induk perusahaan di luar
negeri. Perusahaan asing yang berada di Indonesia, adalah cabang dari induk perusahaan
di luar negeri, terutama dimanfaatkan sebagai manufaktur atas barang setengah
jadi (intermediate goods) atau barang mentah mereka.
Beberapa
petunjuk mengenai transfer pricing merupakan masalah yang menjadi pembahasan
dalam hal ini, karena obyek yang dianggap sebagai transfer pricing atas
penjualan produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda antara Direktur
Jenderal pajak vs PT. Tyrolit Vincent.
Perkara
Banding antara Direktur Jendral Pajak vs PT tyrolit Vincent menjadi pokok
pembahasan dalam tesis ini, karena objek yang disengketakan adalah koreksi
harga jual oleh Direktur Jendral Pajak yang dianggap sebagai transfer pricing
atas penjualan produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda antara
penjualan kepada pihak-pihak lain yang tidak memiliki hubungan istimewa.
b. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanan aspek hukum perpajakkan atas transfer pricing
oleh poerusahaan Multinasional indonesia?
2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Direktur Jendral
Pajak menetapkan perbedaan harga jual antar perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa (related parties) dalam kasus sengketa pajak antara Dirrektur Jendral
Pajak vs PT. Tyrolit Vincent, sebagai transaksi transfer pricing?
3. Bagaimana sikap atau pertimbangan pengadilan pajak menetukan
transfer pricing dalam perkara banding direktur Jendral Pajak vs. PT Tyrolit
Vincent?
c. Teori
– Teori
Transfer Pricing.
Transfer
pricing sebagai piranti pengukur hak dan kewajiban antar mereka merupakan hal
yang penting. Pada hakikatnya perusahaan-perusahaan di berbagai negara tersebut
merupakan satu entitas ekonomi yang berbeda dibawah kepimilikan atau penguasaan
yang sama dan kurang lebih dikendalikan oleh perusahaan induk dikantor pusatnya.
Berdasarkan
asumsi tersebut perusahaan induk berwenag menentukan transfer pricing yang
berlaku dalam perdagangan internasional antar anak perusahaan . menurut
coraknya maka transfer pricing dapat menyimpang dari harga yang normal atau
harga sebenarnya. Meskipun hakekat transfer pricing dalam bisnis berskala
global diperlukan untuk mengukur kinerja tiap divisi atau anak perusahaan ,
perlu disiapkan suatu transfer pricing yang sehat. Transfer pricing dapat
dijadikan piranti untuk menghitung kemampuan tiap saat pertanggung jawaban
dalam menghasilkan laba sesuai dengan kontribusinya terhadap keseeluruhan
aktivitas perusahaan multinasional. Namun demikian, karena transfer pricing
sangat tergantung pada kebijakkan alokasi keuntungan dan biaya oleh pusat manajemen
perusahaan multinasional, maka kebijakan transfer pricing sangat mempengaruhi
neraca perdagangan suatu negara. Oleh karenanya maka pengawaasan transfer
pricing perusahaan multinasional dilakukan secara insentif oleh otoritas pajak
dan bea cukai diberbagai negara, termasuk termasuk indonesia. Hal ini bkarena
perusahaan multinasional dituding sering memanipulasi transfer pricing.
Yurisdiksi Perpajakkan Indonesia Untuk
Transfer Pricing
Transfer pricing sebagai strategi dan
taktik bisnis yang bersifat netral, tanpa motif pengurangan beban pajak.
Transfer pricing sebagai upaya untuk penghematan beban pajak secara keselruhan
dengan antara lain menggesar laba ke anak perusahaan di negara yang beban
pajaknya murah. Sebagai upaya mencegah erosi basis pajak aatau dasar pengenaan
pajak dan penyimpngan laba usaha karena praktek transfer pricing, kebanyakkan
negara pemengang yuridiksi pemajakkan memberlakukan peraturan anti
penghindaraan (Anti Avoidance Rule)
Seperti
halnya praktek pemajakkan yang umumnya diikuti secara internasional, Indonesia
juga memajaki wajib pajak yang melakukan transaksi dengan badan diluar
yurisdiksinya. Laba harus dihitung dengan asumsi bahwa transfer pricing adalah
sama dengan harga wajar (arm’s lenght price)
Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan bagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 18,
mengisyaratkan adanya kemungkinan penyelundupan pajak oleh para wajib pajak
yang mempunyai hubunga istimewa. Transfer pricing merupakan alat yang dapat
dipakai untuk melaksanakan maksud tersebut. Agar tidak terjadi erosi basis
pajak dari transfer pricing, maka transaksi antara wajib pajak yang mempunyai
hubungan istimewa perlu diteliti secara seksama.
Dalam
penjelasan pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 dinyatakan bahwa
pemilik dan penguasa bila pemilik saham memiliki mayoritas minimal 25% dapat
dianggap merupakan indikasi adanya hubungan istimewa. Indonesia menganut sistem
kewajiban pajak penuh “full liability to tax unlimeted tax liability, universal
taxation” atau “worldwide income taxation regime”, sesuai ketentuan pada pasal
4 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 “ yang menjadi obyek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak,
baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demukian, maka hubungan istimewa
tersebut dapat menjangkau badan usaha yang berada di luar teritorial Indonesia.
Teori
realistis menyatakan bahwa yurisdiksi setara dengan kekuasaan fisik, untuk
melaksanakan yurisdiksi terhadap orang dan harta yang berada dalam wilayah
kekuasaannya. Secara empiris, yurisdiksi pemajakan bukanlah semata karena
kekuasaan fisik tetapi berdasarkan ketentuan perundangan dan tidak terbatas
pada wilayah kekuasaan tetapi dapat meluas sampai kepada orang secara fisik
berada diluar kewenangan administrasi pengenaan pajak. Sementara itu, teorin
etis atau retributuif menyatakan bahwa pemajakan merupakan kontraprestasi atau
imbalan (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari negara.
Sebagaimana
seering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan pasal 2
Undang-undang Pajak penghasilan 2000, Indonesia membangun yurisdiksi
perpajakkan berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal yaitu : (a) status
personal atau subyek dan (b) obyektif
atau kaitan ekonomis. Pertalian personal atau subyek memperhatikan status wajib
pajak (tempat domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang
pribadi: tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan), pertalian obyektif
atau ekonomis mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan.
Hubungan antara Transfer Pricing dengan
Peraturan Perpajakkan di Indonesia.
Dalam
praktek pemajakan yang umumnya diikuti secar innternasional Indonesia juga
memajaki wajib pajak yang melakukan transaksi dengan badan usaha di luar
Yurisdiksi. Laba usaha harus dihitung dengan asumsi bahwa transfer pricing sama
dengan harga wajar untuk barang yang sama atau serupa, yang harus dibayar di
antara pihak indepnden (tidak mempunyai hubungan istimewa).
Pengertian
“hubungan istimewa” berdasarkan UU PPh diatur dalam pasal 18 ayat (4), yang
secara garis besar adalah: hubungan istimewa dianggap ada dalam hal hubungan
antara dua WP yang salah satunya mempunyai penyertaan pada yang lain pada
rendah 25%; hubungan antara WP dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua WP
lain atau lebih; termasuk hubungan antara dua WP atau lebih yang disebut
belakangan; hubungan antara WP yang dibawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; serta hubungan keluarga baik sedarah dalam garis
keturunan lurus dan ataukesamping satu derajat.
Jika terjadi
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagimana diatur
dalam pasal 18 ayat (4) tersebut, Direktur Jendral Pajak (Dirjen Pajak) diberi
wewenang melalukukan koreksi sebagaimana dirumuskan di ayat (3), yang berbunyi
sebagai berikut: “Dirjen Pajak berwenang menentukan utang sebagai modal untuk
menghitng besarnya penghasilan kena pajak bagi WP yang mem[unyai hubungan
istimewa denga Wp lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”. Rumusan tersebut menunjukkan ada dua
hal yang harus dipenuhi agar Dirjen Pajak dapat melakukan koreksi, yaitu i)
terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transaksi dan ii)
transaksi tersebut tidak menunjukkan kewajaran dan kelaziman usaha.
Hubungan antara Transfer Pricing dengan
Perusahaan Multinasional.
Aplikasi
kebijakkan transfer Pricing dari suatu perusahaan multinasional umumnya
diarahkan dengan tujuan legal, yaitu :
1. Memaksimalkan pendapatan entitas ekonomi.
2. Mengamankan persaingan antar anak perusahaan.
3. Evaluasi kinerja anak perusahaan di luar negri.
4. Meningkatkan bagian laba usaha patungan (joint venture)
5. Menghindari gejolak nilai tukar.
6. Membina hubungan baik dengan pemerintah tuan rumah.
Mengingat bahwa pada hakikatnya, perusahaan multinasional
merupakan perusahaan yang memiliki kemampuan yang besar di berbagai negara,
maka induk perusahaan berwenang menetukan transfer pricing yang berlaku dalam
bisnis internasional dituding sering menyalahgunakan transfer pricing.
Ketentuan perpajakkan dan bea cukai diberbagai neggara dilakukan secara
intensif untuk membatasi diterapkannya transfer pricing oleh perusahaan
multinasional.
BAB II
MOTIVASI
TRANSFER PRICING DAN KATEGORI HARGA TRANSFER ANTAR PERUSAHAAN IMPLIKASI
TRANSFER PRICING TERHADAP PENERIMAAN PAJAK
A. Motivasi
Transfer Pricing
Beberapa perusahaan yang berada dalam satu grup apakah
karena pemikiran atau penguasaan, baik yang berskala nasional, regional maupun
global, pada umumnya bekerja berdasarkan suatu recana strategis dan operasional
yang telah dikaji dan dipertimbangkan secara seksama. Kebijakan atau imbalan
yang diputuskan dipertimbnagkan berdasarkan penalaran yang rasional dan
menguntungkan grup perusahaan secara keseluruhan.
Kebijakan harga transfer pada umumnya diarakmkan pada
maksimalisasi efisiensi grup perusahaan secara totalitas dan menguntungkan
bisnis global mereka. Oleh karena unsure pajak secara ekonomis, merupakan beban
usaha yang mengurangi laba bersih keseluruhan, maka kebijakan transfer pricing
akan mengarah pada pertimbangan mainimalisasi total beban pajak global
perusahaan.
Secara umum pengertian transfer pricing merupakan jumlah
harga atas penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis financial auat
transaksi lainnya. Menurut Tsurumi (1984) dalam gunadi dalam suatu grup
perusahaan transfer pricing (sering disebut dengan istilah intercompany
pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing atau internal
pricing), merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen atas
transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan. Transfer pricing tersebut
bermula dari usaha pengendalian yang dilakukan oleh satu pihak lainnya melalui
kepemilikan, misalnya antara induk dengan anak perusahaan atau antara
perusahaan afiliasinya.
Penelitian tentang transfer pricing di Indonesia oleh tim
UNTC (United nation Technical Coorporation) dari PBB yang diketuai oleh Dr.
Silvain plasschaat di simpulkan adanya beberapa motivasi transfer pricing di
Indonesia seperti :
1. Pengurangan obyek pajak (terutama pajak
penghasilan)
2. Pelonggaran pengaruh pembatasan
kepemilikan luar negeri
3. Penurunan pengaruh depresiasi rupiah
4. Menguatkan tuntutan kenaikan atau
proteksi terhadap saingan impor
5. Mempertahankan sikap low profile atau
konservatisme tanpa memperdulikan
tingkat keuntungan usaha
6. Pengamanan perusahaan dari tuntutan
imbalan prestasi pimpinan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan
(ekologi dan masyarakat)
7. Memperkecil akibat pembatasan dan
ketidakpastian atas resiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri.
Dari uraian di atas Nampak bahwa pada prinsipnya praktek
transfer pricing dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong
oleh karena alas an pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-text motive).
Motivasi pajak atas praktek transfer pricing dilakukan dengan sedapat mungkin
memindahkan penghasilan dari Negara dengan beban pajak tinggi ke Negara lain
dengan beban pajak terendah atau minimal atau kalau mungkin nihil. Salah satu
rekayasa pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk royalty karena dengan
sangat langkanya standar harga pasar (tariff) atas royalty maka akan sangat
sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya.
B. Kategori
Harga Transfer Antar Perusahaan
Dalam system perpajakan, menghendaki agar harga yang
dihitung pada tiap transaksi antar perusahaan berdasar prinsip harga wajar.
Namun secara umum terdapat empat basis penentuan harga transfer yaitu:
1.
Penentuan
Harga Transfer Berdasarkan Biaya
Jika
harga kompetitif tidak berbeda, maka suatu harga transfer dapat ditentukan
berdasarkan biaya ditambah laba.
2.
Penentuan
Harga transfer Berdasarkan Harga Pasar
Keunggulan
adalah bahwa sifat objektif dan paling baik dalam memenuhi criteria keputusan
harga wajib. Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan.
3.
Penentuan
Harga transfer Berdasarkan negosiasi
Alas
an terpenting bagi unit usaha adalah mengnegosiasikan harga diantara mereka
yang memiliki informasi paling tepat mengenai pasar dan biaya yang ada,
sehingga mereka merupakan pihak yang paling mungkin untuk memberikan harga yang
pantas.
4.
Penentuan
harga Transfer Berdasarkan Arbitrase
Arbitrase
merupakan tanggung jawab dari kelompok atau eksekutif tingkat atas dari kantor
pusat, karena keputusan arbitrase memiliki dampak yang sangat mempengaruhi laba
unit-unit usaha. Pendekatan ini menekankan pada harga transfer berdasarkan
interaksi kedua divisi pada tingkat yang dianggap terbaik bagi kepentingan
perusahaan.
C. Implikasi
transfer Pricing terhadap Penerimaan Pajak.
Pada prinsipnya transfer pricing dapat melibatkan baik
transaksi domestic maupun global. Transfer pricing domestic tidak membawa
impliikasi yang signifikan karena masih dalam satu yurisdiksi pemajakan yang
sama. Sehubungan dengan transaksi global, perbedaan tariff pajak penghasilan
antar Negara dapat mendorong rekayasa harga transfer untuk memperoleh
penghematan pajak global. Hal ini dilakukan dengan cara merelokasi
pengasilannya ke perusahaan ke Negara yang menggunakan tariff pajak relative
rendah, dan sebaliknya membebaskan biaya-biaya usahanya lebih besar pada
perusahaan dinegara yang menerapkan tariff pajak relative tinggi.
Strategi transfer pricing yang bertujuan untuk melakukan
penghindaraan pajak akan sangat merugikan bagi penerimaan pajak suatu Negara,
karena potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh menjadi hilang.
BAB III
ASPEK HUKUM PERPAJAKAN ATAS TRANSFER
PRICING PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA
a. Perhitungan
kembali harga dalam hubungan istimewa.
Secara bisnis komersial penentuan harga transfer dalam
jumlah yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong secara murin, oleh
kebijakan usaha. Untuk tujuan penghematan pajak, beberapa mekanisme transfer
pricing adalah (1) pemberiaan harga dengan mark up atau mark down atas transfer
pricing; (2) pengutipan tarif imbalan atas penyerahan jasa; (3) alokasi biaya
bersama; (4) pembiayaan perusahaan sebagian besar dengan pimpinan.
b. Pemajakan
atas penghasilan anak perusahaan multinasional
Perusahaan multinasional yang bermaksud untukl mengembangkan
usaha, kegiatan atau investasinya di Indonesia dapat melakukannya dengan
mendirikan cabang ataiu anak perusahaan (subsidiary, company). Anak perusahaan
dapat terjadi dengan mendirikan badan atau pembeliaan sebagian besar saham
badan usaha di Indonesia yang sudah berjalan. Dari segi perpajakan
pengoperasian anak perusahaan menimbulkan wajib pajak badan dalam negeri,
apabila didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Standar
pengujian kewajaran harga transfer
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam penulisan
hasil penelitian ini, bahwa ketentuan tentang standar pengujian kewajaran harga
transfer untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa, sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 3 UU PPh,
sampai saat ini belum ada ketentuan pelaksanaannya.
d. Aspek
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)
Mengingat sebagian besar masalah transfer pricing ini
berkaitan dengan perusahaan multinasional, salah satu yang dapat ditempuh
adalah kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian penghindaran pajak
berganda / P3B (tax treaty).
e. Ketentuan
penangkal rekayasa transfer pricing
pada umumnya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
utama suatu negara dalam rangka pebiayaan penyelenggaraan pemerintahan untuk
penyediaan barang jasa publik serta pembangunan, menyadari bahwa pajak
merupakan unsur peenerimaan negara yang penting, setiap negara pemungut pajak
akan berusaha menangkal penghindaran dan perencanaan pajak, dengan menyusun
ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan tindakan administrasi
lainnya.
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PAJAK ATAS
SENGKETA PAJAK
Hubungan istimewa terjadi karena antara Pemohon Banding
dengan pihak pembeli, yakni Tyrolit Vincent SPA Italy, SV Group Ltd China,
Tyrolit Middle East FZE dan Tyrolit Thailand, memiliki hubungan kepemilikan
melalui penyertaan modal langsung atau tidak langsung maupun penguasaan
manajemen dengan pemegang saham, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 4
huruf a dan b Undang-undang pajak Penghasilan, berbunyi: Hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), pasal 8 ayat (4), pasal 9
ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a.
Wajib
pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antar
dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir, atau
b.
Wajib
Pajak menguasai Wajib Pajaklainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut PT Tyrolit Vincent menyatakan bahwa harga jual
kepada costumer related parties lebih rendah dibanding dengan yang bukan
related parties adalah wajar, hal ini dilandasi oleh pertimbangan bisnis yang
tidak melanggar ketentuan perpajakan, karena:
a.
Harga
jual pasar dari produk PT Tyrolit Vincent diluar negeri lebih rendah disbanding
di Indonesia. Penjualan produk ke luar masih belum dapat bersaing, sehingga
mulai pertengahan tahun 2001 tidak ada lagi penjualan ke Thailand dan bahkan
tahun 2000 semua barang dari SV Group china diretur ke China.
b.
Costumer
related parties tersebut juga bertindak sebagai distributor yang menanggung
biaya-biaya, seperti modifikasi produk.
c.
Penjualan
ke costumer related parties akan mengurangi biaya yang berhubungan dengan
penjualan lainnya. Misalnya expatriate yang harus berkunjung ke luar negeri,
akomodasi bagi staf expatriate.
d.
Mengurangi
resiko kredit macet atau biaya L/C karena biasanya pembeli related parties
tidak bersedia untuk membuka L/C.
e.
Penjualan
kepada costumer related parties akan mengurangi pencadangan piutang tak
tertagih, karena untuk pelunasan piutang dari customer related parties akan
langsung diperhitungkan dengan saldo hutang PT Tyrolit Vincent SPA Italy.
Direktur pajak menanggapi alasan PT Tyrolit Vincent, bahwa
harga jual produk yang sama kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
lebih rendah dibanding dengan pihak-pihak adalah wajar adalah tidak dapat
diterima karena;
a.
PT
Tyrolit Vincent tidak dapat membuktikan apabila harga jual produk baik kepada
related parties maupun kepada third parties adalah sesuai dengan harga jual,
sehingga dapat dibuktikan bahwa harga jual produk sebanding dengan cost per
unit ditambah dengan margin profit tertentu.
b.
Sekali pun harga jual produk di pasar luar
negeri lebih rendah dibandingkan dengan di dalam negri, tidak berarti harga
jual produk kepada related parties harus lebih rendah dibandingkan dengan harga
jual produk kepada non related parties.
c.
Biaya-biaya
seperti modifikasi produk dan tecknical support yang di tanggung oleh customer
related parties, seharusnya diperhitungkan sebagai harga jual produk ketika
related parties menjual kembali produk tersebut, baik dalam bentuk produk yang
dimodifikasi maupun bentuk lain, sehingga adanya beban-beban tersebut tidak
semestinya pemohon banding menjual produk dengan harga jual secara tidak wajar.
Selain itu pemohon banding tidak dapat membuktikan bahwa pemohon banding harus
memberikan technical support kepada related parties, dan sebaliknya pihak
related parties berkewajiban membayar technical fee kepada pemohon banding
sesuai dengan bukti perjanjian atau bukti lainnya.
d.
Harga
jual produk kepada related parties yang lebih rendah daripada harga jual kepada
third parties tidak dapat memberikan jaminan bahwa biaya perjalanan dinas dan
akomodasi staf expatriate ke luar negeri, maupun resiko akibat kjredit macet
atau biaya L/C akan dikurangi karena kenyataannya biaya-biaya tersebut sudah
menjadi kelaziman dalam dunia usaha.
e.
Walaupun
pemohon banding melakukan penjualan kepada pihak yang memiliki hubungan
istimewa maka pencadangan piutang yang tidak tidak tertagih tetap tidak di
perkenankan sesuai ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf c undang-undang pajak
penghasilan, sehingga tidak beralasan apabila penurunan harga jual akan dapat
mengurangi pencadangan piutang tak tertagih.
BAB V
KESIMPULAN
1. Aspek hukum perpajakkan atas transfer pricing oleh
perusahaan multinasional di Indonesia dilandasi oleh pemikiran semakin
berkembangnya pada dewasa ini badan-badan usaha yang merupakan group yang
secara langsung atau tidak langsung dibawah kepemilikkan atas penguasaan pihak
yang sama, dengan kata lain mempunyai hubungan istimewa. Suatu hal yang wajar
apabila di antara badan-badan usaha tersebut terjadi transaksi-transaksi, diman
harga yang diperhitungkan pada transaksi antara anggota group tersebut sering kali
tidak sama dengan harga yang berlaku di pasar bebas, atau dengan perkataan lain
telah terjadi penentuan harga yag tidak wajar (non arm’s lenght price).
Mencegah terjadinya penghindaran pajak antara lain melalui
penentuan harga yang tidak wajar, maka pemerintah dalam perundang-undangan
perpajakkan telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberiakan
wewenang kepada otoritas pajak, yaitu Direktur Jendral Pajak Departemen Keungan
Republik Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap transaksi yang tidak wajar
dengan pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa, (pasal 5 dan Pasal 18
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1994). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan pajak
untuk menghitung beberapa pajak terhutang atas transaksi-transaksi yang
dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dalam penelitian ini
adalah wajib Pajak dalam negeri (Indonesia) yaitu PT. Tyrolit Vincent dengan
Wajib Pajak yang berkedudukan di Italia, yaitu Tyrolit Vincent Italy.
Pemeriksa pajak dalam kasus sengketa Direktur Jendral Pajak
vs. PT. Tyrolit Vincent, telah melakukan koreksi atas peredaran usaha Wajib
Pajak dengan berpedoman pada kebutuhan-kebutuhan yang diatur dalam keputusan
Direktur Jendral Pajak dan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak
mengidentifikasikan lebih dahulu data informasi yang tersedia dan melakukan
analisa hubungan dengan transfer pricing serta harus mengidentifikasikan
masalah-masalah menyangkut antara lain :
a. Perusahaan-perusahaan dan tidak yang terkait dalam praktek
pembebbanan harga yang tidak wajar;
b. Kebijaksanaan dan metode pembebanan harga dari
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan motivasinya;
c. Tipe-tipe transaksi yang dipengaruhi oleh praktek-praktek
pembebanan harga yang tidak wajar
d. Produk-produk khusus yang dipengaruhi oleh praktek-praktek
pembebanan harga yang tidak wajar;
e. Kasus-kasus harga yang ditinggiakn (over pricing) dan harga
yang direndahkan (under pricing) dalam transaksi dalam negri dan impor/ekspor.
2. Pandangan
hukum bisnis internasional terhadap perbedaan harga jual antar perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa (related parties), merupakan persoalan pokok yang
dihadapi sehubungan dengan investasi asing yang salah satunya adalah transfer
pricing. Masalah transfer pricing menimbulkan sejumlah kepentingan yang
melindungi dan sulitnya menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu upaya yang
dapat ditempuh negara-negara berkembang adalah kerjasama internasional dalam
bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty). Dalam perumusan
P3B, indonesia merujuk pada UN Model yang seccara khusus didesain untuk P3B
antara negara maju dan negara berkembang. Pasal 9 UN Model yang memberikan
wewenang kepada salah satu negar untuk melakukan pemeriksaan antar pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa,
sepanjang tidak menunjukkan harga jualyang wajar (arm’s lenght price) menurut
pasar. Ketentuan yang diatur pada pasal 9 UN model ini sejalan dengan ketentuan
pasal 18 ayat 18 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-undang Pajak Penghasilan 2000.
Intinya, bahwa Direktur Jendral Pajak Berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dengan demikian, tidak ada
pertentangan antara ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan dengan
pandangan Internasional terhadap kewenangan
pemerintah untuk melakukan pemeriksaan atas perbedaan harga jual
perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa (related parties)
untuk menentukan apakah transaksi yang dilakukan tersebut sebagai rekayasa
transfer pricing.
3. Sikap/pertimbangan Pengadilan Pajak
menetukan transfer pricing dalam perkara banding Direktur Jendral Pajak vs PT.
Tyrolit Vincent berdasarkan pada bukti-bukti yang diajukan Pemohon Banding (PT.
Tyrolit Vincent) dalam persidangan berupa audit report Tyrolit Vincent Italy,
diketahui bahwa Tyrolit Vincent Italy (induk perusahaan) masih memperoleh laba.
Sedangkan data mengenai tarif pajak di Italy tahun 2000 untuk tarif tertinggi
dibandingkan tarif tertinggi yang berlaku di Indonesia, yaitu 30%. Selanjutnya,
pertimbangan Majelis Pengadialn Pajak adalah melihat kondisi pasar domestik
tidak dapat diandalkan untuk menyerap produk pemohon Banding, sehingga motivasi
perbedaan harga jual atas produk yang sama dimaksudkan untuk dapat bertahan
menjaga kelangsungan usaha. Pemohon Banding agar perusahaan tetap berjalan.
Kesimpulan menjalin pengadilan Pajak bahwa tindakan Pemohon Banding tidak
dimaksudkan untuk melakukan penghindaran pajak dan oleh karena itu tidak
terbukti adanya rekayasa transfer pricing, meskipun unsur harga jual yang tidak
wajar (non arm’s lenght price) terpenuhi.
SARAN
1. Rekomendasi yang diberikan oleh Undang-Undang Pajak
Penghasilan 2000 salam pasal 18 ayat (3a) kepada Direktur pajak dan mengurangi
pemeriksaan yang membutuhkan banyak waktu dan usaha berkaitan dengan isu utama
dari perusahaan multinasional adalah transfer praicing, maka salah satu upaya
dengan meralisasikan petunjuk operasional model kesepakatan harga transfer
(advance pricing agreement-APA). Dengan APA, baik administrasi pajak maupun
perusahaan multinasional telah sepakat untuk menerima metode trasfer pricing
yang akan diterpkan dan sekaligus harga transfer antar perusahaan. Dengan
demikian, APA diharapkan dapat mengurangi biaya bagi administrasi pajak maupun
bagi kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.
2. Harus disadari bahwa dalam rekayasa perencanaan pajak yang
canggih seperti saat ini semua bukti formal dapat disediakan dengan rapih. Agar
lebih operasional dan kukuh, maka ketentuan yang diatur dalam keputusan
Direktur Jendral Pajak Nomor. KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Nomor
SE-04/PJ.7/1993 perlu disesuaikan deengan guideline yang terkini dan dirumuskan
dalam Undang-Undang perpajakan.
3. Pengandialan Pajak harus lebih banyak menghasilkan
yurisprudensi yang mampu menangkal praktik rekayasa transfer pricing yang
berupaya menggerus potensi penerimaan pajak. Menghadapi yang demikian maka
ketentuan penagkal penghindaran pajak melalui rekayasa transfer pricing semakin
dikembangkan, diperjelas dan diupertegas, sehingga melalui keputusan Pengadilan
Pajak akan memperkaya ketentuan transfer pricing yang diharapkan bisa memberi
jalan bagi perbaikkan ketentuan dalam rancangan perubahan undang-undang
perpajakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar