BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam konteks perdagangan global tindakan tersebut sebenarnya sudah bisa dianggap melanggar konsep unfair competition protection berdasarkan klasifikasi hak atas kekayaan perindustrian yang terdapat pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Praktek pelanggaran tersebut di atas melanggar beberapa konvensi internasional tentang perlindungan hak cipta yaitu Persetujuan TRIPs, Bern Convention, Universal Copy Rights Convention, Rome Convention. Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights = Aspek- aspek Perdagangan yang Bertalian Dengan Hak Milik Intelektual) telah diratifikasi oleh 117 negara pada bulan April 1993 yang termasuk Indonesia di dalamnya. Di dalam TRIPs, diatur mengenai ruang lingkup dan obyek Hak Milik Intelektual antara lain :
1. Hak Cipta2. Merek Dagang
3. Paten
4. Desain Produk Industri
5. Indikasi Geografis (Geographical Indication)
6. Lay out Design of Integrated Circuit / Topographi Right
7. Rahasia Dagang (Trade Secret)
Tanpa disadari bahwa kreatifitas UKM di daerah Kabupaten Bantul sebenarnya dapat dilindungi HKI yang berperan penting manakala produk tersebut dipasarkan pada konsumen, termasuk konsumen asing. Bidang HKI yang berkaitan dengan produk kerajinan adalah Desain dan Hak Cipta.
Menurut Undang-Undang No.19 Tahun 2002 hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Auteurswet 1912 pasal 1 menyebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang. Jika dicermati dari beberapa pengertian mengenai hak cipta di atas, maka dapat disimpulkan adanya persamaan pemahaman bahwa hak cipta merujuk pada hak eksklusif dari pencipta akan karya di berbagai bidang termasuk di dalamnya produk kesenian seperti produk kerajinan pandan dan enceng gondok. Jelas di sini bahwa buyers secara terbuka melakukan pelanggaran terhadap konvensi internasional yang mengatur tentang hak cipta dan tidak ada sanksi hukum yang bisa dilakukan oleh World Trade Organization. Desain Industri adalah bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual. Perlindungan atas desain industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya desain industri tak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Jadi desain industri merupakan produk intelektual manusia, produk peradaban manusia. Desain Industri menurut pengertian Undang-Undang No.31 Tahun 2000 adalah: “Suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, atau komoditas industri, atau kerajinan tangan.”
Dalam penciptaan suatu desain, tentunya hal ini perlu mendapat perlindungan ataupun pengaturan perlindungan hukum terhadap Desain Industri dalam rangka melindungi penemuan desain itu sendiri dari kegiatan yang dapat merugikan.
Selain mewujudkan komitmen pemerintah terhadap Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), pengaturan Desain Industri dan Hak Cipta diberikan untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap segala bentuk penjiplakan, pembajakan, atau peniruan atas Desain Industri dan Hak Cipta yang telah dikenal cukup luas. Di samping itu, perlindungan hukum yang diberikan terhadap Desain Industri dan Hak Cipta, dimaksudkan untuk merangsang aktifitas kreatif dari pencipta desain untuk terus menerus menciptakan desain baru.
Di samping peraturan perundang-undangan nasional, selain ratifikasi GATT 1994, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi atau traktat internasional antara lain Konvensi Paris yang diratifikasi melalui Keppres No.15 Tahun 1997, Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No.16 Tahun 1997, Trade Mark Law Treaty diratifikasi melalui Keppres No. 17 Tahun 1997, Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keppres No. 18 Tahun 1997 serta WIPO Copyrights Treaty yang diratifikasi melalui Keppres No.19 Tahun 1997. Bercermin dari terjadinya penjiplakan produk kerajinan anyaman pandan dan enceng gondok yang dialihkan pembuatannya ke Cina dan Vietnam yang dilakukan oleh buyers secara jelas telah melanggar peraturan-peraturan baik pada level internasional dan domestik di Indonesia. Kenyataannya, meskipun Indonesia sudah menjadi anggota WTO dan meratifikasi beberapa traktat internasional tetap saja mengalami perlakuan yang tidak adil dalam kancah perdagangan internasional.
Berdasarkan hal tersebut di atas berkaitan dengan perlindungan Hukum pemegang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, maka makalah ini akan menyajikan perlindungan tersebut sesuai dengan pengelompokkannya, hal ini sejalan dengan judul makalah ini, yakni “Perlindungan Hukum pemegang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia ditinjau Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah: Bagaimana perlindungan Hukum pemegang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia?
C. Metode Penulisan
Salah satu corak penulisan makalah ini berupa sejumlah buku-buku teks, artikel, jurnal, dan peraturan perundang-undangan terkait. Pengumpulan data-data dengan studi kepustakaan tersebut saling memberikan verifikasi, koreksi, pelengkapan dan pemerincian.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian HKI
Hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud.
Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mempu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak atas Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku ke dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua Hak atas Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.
Pengelompokan Hak atas Kekayaan Intelektual lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:
1.) Hak Cipta (Copy Rights)
2.) Hak Milik (baca: hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property Rights)
Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.) Hak Cipta; dan
2.) Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights).
Istilah neighbouring rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Neighbouring rights, dalam hukum Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan hak cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut neighbouring rights itu lahir dari adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola atau tinju atau live show artis penyanyi adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa hak siaran adalah neighbouring rights.
Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Oleh karena itu, neighbouring rights lebih tepat disebut sebagai hak yang bersempadan dengan hak cipta. Adanya neighbouring rights selalu diikuti hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak mengharuskan adanya neighbouring rights.
Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
- Patent (Paten)
- Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hokum Indonesia, dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent).
- Industrial Design (Desain Industri)
- Trade Mark (Merek Dagang)
- Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
- Indication of Source or Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal)
Berdasarkan kerangka WTO/TRIPs 1994 ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan yakni :
1.) Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan
2.) Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu)
B. HaKI Dalam Kerangka Hukum Indonesia
Keberadaan Hak Kekayaan intelektual dalam hubungannya dengan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi. Indonesia sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak akan terlepas dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku perdagangan internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut World Trade Organization (WTO). Salah satu konsekuensi dari keikutsertaan sebagai anggota WTO, maka semua negara peserta termasuk Indonesia diharuskan menyesuaikan segala peraturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual saat ini mempunyai karakter tersendiri. Artinya, karakter perlindungan tersebut tumbuh secara internasional melalui konvensi-konvensi internasional, tetapi bermula dan berakar dari negara-negara individu secara mandiri sebagai subjek hukum internasional. Sebaliknya, dalam penerapan selanjutnya masing-masing negara mengadopsinya dengan memperhatikan akar budaya dan sistem hukumnya masing-masing, berarti bahwa implementasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada pendekatan masing-masing negara. Gambaran tersebut dapat dilihat dari kondisi bagaimana suatu negara mengatur perlindungan traditional knowledge. Banyak negara berpendapat bahwa pengaturan Hak Kekayaan Intelektual yang ada tidak cukup dapat melindungi traditional knowledge secara kuat. Oleh karena itu, mereka membuat pengaturan khusus sebagai suatu yang sui generis dalam perlindungan terhadap traditional knowledge.
Kondisi demikian juga terlihat di Indonesia dalam melakukan kerjasama dan mengikatkan diri dengan dunia internasional, baik secara bilateral maupun multilateral di bidang Hak Kekayaan Intelektual, seperti :
1. Perjanjian bilateral sebagaimana tertuang dalam:
a. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Masyarakat Eropa tentang Perlindungan Hak Cipta atas Rekaman Suara.
b. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat tentang Perlindungan Hak Cipta.
c. Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1988 tentang Pengesahan Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Australia tentang Perlindungan dan Pelaksanaan Hak Cipta.
d. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang Pengesahan Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara tentang Perlindungan Hak Cipta.
2. Perjanjian multilateral sebagaimana tertuang dalam:
a. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997
b. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT.
c. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trade Mark Law Treaty.
d. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.
e. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty.
Hal yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem HKI adalah aspek budaya hukum (culture of law). Khusus mengenai perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual, dalam bidang hak cipta iklim budaya Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya hukum negara-negara maju.
Keterkaitan budaya Hak Cipta sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual serta budaya nasional dan pandangan hidup, mengisyaratkan bahwa Hak Kekayaan Intelektual tidak akan terlepas dengan hak-hak yang dimiliki manusia yang bersifat asasi. Para pencipta di Indonesia sangat “berbesar hati” bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis, pemahat dan pematung di Bali sangat gembira, apabila karya ciptaannya ditiru orang lain. Begitu pula jika ada kunjungan para pejabat luar negeri ke pabrik atau ke berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat kita dengan senang hati memperkenalkan temuan dan hasil temuan kita kepada “publik luar” tersebut. Memberikan penjelasan, memperkenankan untuk menggunakan tustel atau kamera video, bahkan sampai pada bagian-bagian yang spesifik yang di dunia barat termasuk dalam Trade Secrets atau Undisclosed Information. Dunia barat telah lama memperkenalkan sistem perlindungan yang demikian, sehingga jika kita berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya larangan mempergunakan tustel, kamera video, da lain- lain.
Terlepas dari itu semua, kiranya Indonesia sudah saatnya pula, mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem yang menyeluruh. Pemerintah Indonesia perlu memberikan perlindungan bagi hak masyarakat lokal berkenaan dengan pengetahuan tradisional mereka, mengingat masyarakat sendiri tidak pernah menyadari bahwa pengetahuan tradisional memiliki nilai ekonomis.
C. Perlindungan Hak Cipta
1. Pengertian Hak Cipta
Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 1).Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) UHC Indonesia mengumumkan berarti pembacaan, penyiaran pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) UHC Indonesia, pengertian memperbanyak adalah penambahan jumlah suatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substantial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama atau pun tidak sama, termasuk pengalihwujudkan secara permanent atau temporer.
2. Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta Indonesia secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, itu harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatasan yang dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memfungsikan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya.
Dalam setiap perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum selalu diletakkan syarat-syarat tertentu. Menurut Vollmar, penggunaan wewenang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang sudah pasti tidak memperoleh perlindungan hukum.
Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap hak cipta ini adalah agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang- wenang. Setiap penggunaan hak harus diperhatikan lebih dahulu apakah hal itu tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Walaupun sebenarnya Pasal 2 UHC Indonesia ini menyatakn hak cipta itu adalah hak eksklusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin pencipta. Hak itu timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya hak individu itu dihormati, namun dengan adanya pembatasan maka sesungguhnya puladalam penggunaannya tetap didasarkan pada kepentingan umum. Oleh karenanya Indonesia tidak menganut paham individualistis dalam arti sebenarnya. Hak individu dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Notonagoro dalam bukunya,”Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia,” yang dikutip oleh A.P Parlindungan menuliskan bahwa “hak milik mempunyai fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan diri atas individu, mempunyai dasar yang individualistis, kemudian ditempelkan kepadanya itu sifat yang sosial, sedangkan kalau berdasarkan Pancasila hukum kita tidak berdasarkan atas individualistis, tapi dwi tunggal itu.”
Jika kita kaitkan dengan UHC Indonesia maka undang-undang inipunbertolak dari perpaduan antara sistem individu dan sistem kolektif. Perjalanan sejarah tentang pemikiran dasar tentang hak milik berkembang menurut pandangan filosofis atau ideologis yang dianut oleh suatu Negara Thomas Hill Green mencatat, bahwa kualitas yang pada dasarnya bersifat manusiawi yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuannya untuk membentuk suatu kehendak moral dan bertindaksesuai dengan kehendak moral tersebut.
Dari sinilah berkembangnya filosofis tentang hak milik. Indonesia merumuskan kehendak moralnya dalam landasan filosofis negaranya yaitu Pancasila. Asas-asas yang terkandung dalam Pancasila selain menganut asas religius juga mengandung asas humanisme. Perpaduan kedua asas ini akan mengantarkan konsep hukum, bahwa selain hak milik bersumber pada Tuhan, juga kegunaannya haruslah bermanfaat bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hak individu diakui di satu sisi dan di pihak lain harus menghormati hak-hak kolektif dan bahkan penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan hak orang lain, apalagi sampai merugikan orang lain.
Tidak berbeda dengan hak milik lainnya, hak cipta sebagai hak kekayaan immaterial di samping ini mempunyai fungsi tertentu, ia juga mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu. Mengenai sifatnya Pasal 3 UHC Indonesia memberikan jawaban sebagai berikut bahwa, “Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.” Pasal 3 UHC Indonesia secara tegas menyebutkan bahwa,”Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.” Perkataan dianggap memberi kesan bahwa sebenarnya sulit untuk membedakan dan memberi tempat apakah hak cipta itu termasuk benda bergerak atau tidak bergerak. UHC Indonesia menyebutkan,”Hak cipta dapat beralih dan dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena, pewarisan hibah, wasiat, perjanjian tertulis.” Masalahnya apakah cara beralih dan mengalihkan hak cipta itu sama seperti mengalihkan benda-benda bergerak lainnya atau tidak ?
Melihat pada kenyataan bahwa hak cipta yang mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya ia hanya dapat dijadikan objek hipotik dan tidak mungkin untuk dijadikan objek gadai. Berdasarkan keadaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hak cipta lebih mendekati kepada sifat benda tidak bergerak. Di samping itu dapat pula kita lihat bunyi penjelasan pasal 3 UHC Indonesia yang menyetakan bahwa,”pemindahan hak cipta harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta nota riil dan tidak dibenarkan dengan lisan”. Ini menguatkan bahwa hak cipta itu lebih mendekati kepada sifat benda tidak bergerak atau benda tetap.
3. Ciptaan yang Dilindungi Hak Cipta
Pasal 12 UHC Indonesia memberikan tetang batasan hal apa saja yang dilindungi sebagai hak cipta sebagai berikut:
Ayat (1) : Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:
a. Buku, program computer, pamphlet, susunan perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan cipataan lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Ayat (2) : Ciptaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
Ayat (3) : Dalam perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dilindungi oleh Undang- Undang Hak Cipta adalah yang termasuk dalam karya ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa yang dilindungi dalam hak cipta ini adalah haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut.
4. Hak-Hak yang Melekat dalam Hak Ciptaa. Hak Ekonomi
Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan UHC Indonesia, yaitu:
1). Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain
2). Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).
Dalam terminologi UHC Indonesia, pengalihan itu dapat berupa pemberian ijin (lisensi) kepada pihak ketiga. Pencipta berhak untuk memberi ijin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuaannya memanfaatkan hasil cipta seseorang untuk tujuan komersial. Atau bilamana dilakukan pengalihan hak kepada pihak ketiga, maka pencipta akan memperoleh manfaat secara ekonomis berupa pembayaran royalti sesuai dengan kesepakatan bersama. Di sini jelas bahwa hak cipta secara otomatis memiliki hak ekonomi yang melekat.
b. Hak Moral
Karya terjemahan haruslah dipandang hasil kemapuan intelektualitas manusia. Tidak semua orang memiliki kemampuan bahasa. Bahkan orang yang mengerti bahasa asing tertentu, tidak lantas mampu membuat karya terjemahan. Meskipun jelas disebutkan bahwa hak cipta juga melindungi karya-karya terjemahan, UHC Indonesia pasal (2) menyebutkan bahwa dalam menggunakan hak tersebut diberikan ketentuan harus sesuai dan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, karya-karya terjemahan tersebut harus tetap mencantumkan mencantumkan informasi tentang judul asli, nama asli atau samaran penulis sumber karya tersebut dan lain-lain.
5. Pemegang Hak Cipta
Yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 1 butir (4) UHC Indonesia.
6. Pendaftaran Hak Cipta
Salah satu perbedaan yang dianggap cukup penting antara Auteurswet 1912 dengan UHC Indonesia dalah perihal pendaftaran hak cipta.
Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Soekardono mengatakan ketika memberikan advis kepada pengurus perkumpulan importir di Batavia dahulu ada dua jenis cara atau stelsel pendaftaran yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.
Stelsel Konstitutif berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Stelsel Deklaratif berarti bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang hak ciptanya terdaftar itu adalah si berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak yang didaftarkannya.
Dalam stelsel konstitutif letak titik berat ada tidaknya hak cipta tergantung pada pendaftarannya. Jika didaftarkan (dengan sistim konstitutif) hak cipta itu diakui keberadaannya secara de jure dan de facto, sedangkan pada stelsel deklaratif titik beratnya diletakkan pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain dapat membuktikan sebaliknya. Dengan rumusan lain, pada sistem deklaratif sekalipun hak cipta itu didaftarkan; undang-undang hanya mengakui seolah-olah yang bersangkutan sebagai pemiliknya, secara de jure harus dibuktikan lagi jika ada orang lain menyangkal hak tersebut.
Selama orang lain tidak dapat membuktikan secara yuridis bahwa itu adalah haknya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh pasal 35 ayat (4) UHC Indonesia, maka si pendaftar dianggap satu-satunya orang yang berhak atas ciptaan yang terdaftar, dan setiap pihak ketiga harus menghormati haknya sebagai hak mutlak. Dalam sistem pendaftaran hak cipta menurut perundang-undangan Hak Cipta Indonesia disebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif artinya bahwa semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran hak cipta.
Sikap pasif inilah yang membuktikan bahwa UHC Indonesia menganut sistem pendaftaran deklaratif. Hal ini dikuatkan pula oleh pasal 36 UHC Indonesia yang menentukan , “Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan.”
Pendaftaran hak cipta, tidak berarti secara substantif Ditjen HAKI bertanggung jawab atas kebenaran (sebagai pemilik) karya cipta tersebut. Ketentuan ini sangat penting. Boleh jadi sebagian kecil dari karya cipta itu benar hasil ciptaannya, tetapi sebagian yang lain ditiru dari karya cipta orang lain. Dalam hal seperti ini Ditjen HAKI tidak memasukkan hal semacam ini sebagai bagian yang harus ditanggungjawabnya. Sistem pendaftaran deklaratif, tidak mengenal pemeriksaan substantif, yakni pemeriksaan terhadap objek atau materi ciptaan yang akan didaftarkan tersebut.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa fungsi pendaftaran hak cipta dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian dalam hal terjadi sengketa mengenai hak cipta.
Pendaftaran ini tidak mutlak diharuskan, karena tanpa pendaftaran hak cipta dilindungi. Hanya mengenai ciptaan yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu dalam pembuktiannya.
Dari penjelasan umum tersebut dapat disimpulkan bahwa pendaftaran itu bukanlah syarat untuk sahnya (diakui) suatu hak cipta, melainkan hanya untuk memudahkan suatu pembuktian bila terjadi sengketa. Itu artinya orang yang mendaftarkan hak cipta untuk pertama kalinya tidak berarti sebagai pemilik hak yang sah karena bilamana ada orang lain yang dapat membuktikan bahwa itu adalah haknya, maka kekuatan hukum dari suatu pendaftaran ciptaan tersebut dapat dihapuskan. Untuk itu pemegang hak cipta dapat mengajukan gugatan ganti rugi, meminta penyitaan, menyerahkan seluruhnya atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran hak cipta, menghentikan kegiatan pengumuman, perbanyakan, pengedaran dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui pengadilan niaga yang saat ini ditempatkan dibawah Pengadilan Negeri.
Ketentuan lain yang membuktikan bahwa UHC Indonesia menganut sistem pendaftaran deklaratif dapat dilihat dari bunyi pasal 5 (1)-nya yang menyatakan bahwa,”Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Ditjen HAKI atau orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan.”
Hal yang penting lagi dari pendaftaran ini adalah dengan pendaftaran diharapkan dapat memberikan semacam kepastian hukum serta lebih memudahkan dalam prosedur pengalihan haknya.
Pendaftaran diselenggarakan oleh Ditjen HKI di bawah naungan Departemen Hukum dan HAM dan dicantumkan dalam daftar umum ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang. Permohonan pendaftaran ciptaan dapat diajukan oleh pencipta atau si pemegang hak kepada Ditjen HAKI dengan surat rangkap dua dan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan disertai biaya pendaftaran dan contoh ciptaan atau penggantinya, demikian bunyi pasal 37 ayat (2) UHC Indonesia.
7. Prosedur Pendaftaran Hak Cipta
Permohonan pendaftaran hak cipta diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Direktorat Jendral HAKI dengan surat rangkap dua, ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas polio berganda.
Dalam surat permohonan itu tertera:
a. Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta;
b. Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta;
c. Nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa;
d. Jenis dan judul ciptaan;
e. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
f. Uraian ciptaan rangkap tiga.
Adakalanya nama pencipta dan pemegang hak cipta orangnya berbeda. Hal ini dapat terjadi bila ciptaan itu telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya kepada penerbit (untuk buku dan karya ilmiah lainnya) atau kepada produser untuk karya rekaman lagu atau musik atau juga karya sinematografi. Pihak lain itu bisa siapa saja tergantung kepada siapa hak cipta itu dialihkan (atau beralih) oleh penciptanya. Jenis dan judul ciptaan harus sesuai dengan ketentuan pasal 12 UHC Indonesia, misalnya buku, program computer, ceramah, alat peraga, lagu, musik, drama, karya pertunjukkan dan lain sebagainya yang tercakup dalam karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali maksudnya adalah, waktu dan tempat ciptaan itu diperkenalkan kepada publik. Sedangkan yang dimaksudkan uraian tentang ciptaan adalah gambaran umum tentang ciptaan yang dituangkan secara tertulis dalam formulir permohonan pendaftaran yang telah dipersiapkan secara baku oleh Departemen Hukum dan HAM c.q. Ditjen HKI.
Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan saja, yang berarti pula tidak dapat diajukan bermacam-macam ciptaan dalam satu surat permohonan. Surat permohonan tersebut ditandatangani oleh pemohon atau pemohon-pemohon dalam hal penciptanya lebih dari satu orang atau oleh kuasanya yang khusus dikuasakan untuk mengajukan permohonan tersebut disertai contoh ciptaan atau penggantinya dan bukti tertulis yang menerangkan tentang kewarganegaraannya.
Nama dan alamat pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya harus ditulis lengkap, namun untuk permohonan pendaftaran ciptaan yang diajukan atas nama lebih dari seorang, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan menetapkan satu alamat pemohon. Apabila pemohon adalah suatu badan hukum, maka dalam surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut.
Apabila surat permohonan diajukan oleh seorang kuasa, maka surat permohonan tersebut selain ditandatangani oleh penerima kuasa, juga harus disertai dengan Surat Kuasa. Kuasa tersebut harus warga negara Republik Indonesia dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, oleh karena itu pada permohonan pendaftaran tersebut harus dilampirkan surat atau bukti lain yang menerangkan tentang kewarganegaraan kuasanya.
Apabila pemohon tidak bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memilih tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah Republik Indonesia.
Surat permohonan tanda terima yang berisikan nama pencipta, pemegang hak cipta, nama kuasa, jenis dan judul ciptaan, tanggal dan jam surat permohonan diterima, berfungsi sebagai bukti penyerahan permohonan pendaftaran ciptaan.
Apabila surat permohonan pendaftaran ciptaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas, maka Direktorat Jendral HKI atas nama Menteri Hukum dan HAM memberitahukan secara tertulis kepada pemohon agar melengkapi syarat-syarat yang dimaksudkan. Apabila permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengiriman pemberitahuan tersebut ternyata pemohon tidak memenuhi atau melengkapi syarat-syarat yang telah ditetapkan tersebut, maka permohonannya menjadi batal demi hukum. Artinya jika pemohon hendak meneruskan permohonannya kembali, ia harus mengulangi kembali syarat-syarat sebagaimana ditetapkan.
Permohonan pendaftaran ciptaan yang telah memenuhi persyaratan tersebut oleh Direktorat Jendral HKI diperiksa apakah pemohon benar-benar Pencipta atau Pemegang Hak atas Ciptaan yang dimohonkan. Sekali lagi pemeriksaannya tidak bersifat substantive, tetapi pemeriksaan secara administrative saja, misalnya ada pernyataan pencipta yang menyatakan karya cipta itu adalah benar-benar hasil ciptaannya. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan keputusannya. Keputusan Menteri Hukum dan HAM diberitahukan kepada Pemohon oleh Dirjen HKI. Dalam hal permohonan pendaftaran ciptaan ditolak oleh Direktorat Jendral HKI, pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga dengan surat gugatan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya agar ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya didaftarkan dalam daftar umum ciptaan di Direktorat Jendral HKI. Permohonan kepada Pengadilan Niaga tersebut harus diajukan dalam waktu 3 bulan setelah diterimanya penolakan pendaftaran tersebut oleh pemohon atau kuasanya.
Apabila pemohon tidak bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memilih tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah Republik Indonesia. Surat permohonan tanda terima yang berisikan nama pencipta, pemegang hak cipta, nama kuasa, jenis dan judul ciptaan, tanggal dan jam surat permohonan diterima, berfungsi sebagai bukti penyerahan permohonan pendaftaran ciptaan.
Apabila surat permohonan pendaftaran ciptaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas, maka Direktorat Jendral HKI atas nama Menteri Hukum dan HAM memberitahukan secara tertulis kepada pemohon agar melengkapi syarat-syarat yang dimaksudkan. Apabila permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengiriman pemberitahuan tersebut ternyata pemohon tidak memenuhi atau melengkapi syarat-syarat yang telah ditetapkan tersebut, maka permohonannya menjadi batal demi hukum. Artinya jika pemohon hendak meneruskan permohonannya kembali, ia harus mengulangi kembali syarat-syarat sebagaimana ditetapkan.
Permohonan pendaftaran ciptaan yang telah memenuhi persyaratan tersebut oleh Direktorat Jendral HKI diperiksa apakah pemohon benar-benar Pencipta atau Pemegang Hak atas Ciptaan yang dimohonkan. Sekali lagi pemeriksaannya tidak bersifat substantive, tetapi pemeriksaan secara administrative saja, misalnya ada pernyataan pencipta yang menyatakan karya cipta itu adalah benar-benar hasil ciptaannya. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan keputusannya. Keputusan Menteri Hukum dan HAM diberitahukan kepada Pemohon oleh Dirjen HKI.
Dalam hal permohonan pendaftaran ciptaan ditolak oleh Direktorat Jendral HKI, pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga dengan surat gugatan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya agar ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya didaftarkan dalam daftar umum ciptaan di Direktorat Jendral HKI. Permohonan kepada Pengadilan Niaga tersebut harus diajukan dalam waktu 3 bulan setelah diterimanya penolakan pendaftaran tersebut oleh pemohon atau kuasanya.
Apabila surat permohonan pendaftaran ciptaan telah memenuhi syarat-syarat tersebut, ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya didaftarkan oleh Direktorat Hak Cipta, Paten dan Merek dalam daftar umum ciptaan dengan menerbitkan surat pendaftaran ciptaan dalam rangkap dua. Kedua lembar surat pendaftaran ciptaan tersebut ditandatangani oleh Direktorat Jendral HKI atau pejabat yang ditunjuk, sebagai bukti pendaftaran, sedangkan lembar kedua surat pendaftaran ciptaan tersebut beserta surat permohonan pendaftaran ciptaan dikirim kepada pemohon dan lembar pertama disimpan di Kantor Direktorat Jendral HKI. Dalam daftar umum ciptaan dimuat keterangan sebagai berikut:
a. Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta;
b.
Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta;
c.
Jenis dan judul ciptaan;
d.
Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
e.
Uraian ciptaan;
f.
Tanggal dan jam surat permohonan diterima;
g.
Tanggal dan jam surat permohonan lengkap;
h.
Nomor pendaftaran ciptaan;
i.
Kolom-kolom untuk pemindahan hak perubahan nama,
perubahan
alamat, penghapusan dan pembatalan.
Setelah dimuat dalam daftar umum ciptaan, hak cipta yang telah didaftarkan tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan Ditjen HKI yang berisikan keterangan tentang:
a. Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta;
b. Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta;
c. Jenis dan judul ciptaan;
d. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
e. Uraian ciptaan;
f. Nomor pendaftaran;
g. Tanggal pendaftaran;
h. Pemindahan hak, perubahan nama, perubahan alamat, penghapusan pembatalan;
i. Lain-lain yang dianggap perlu.
Seluruh rangkaian proses pendaftaran hak cipta tersebut dikenakan biaya. Besarnya biaya tergantung pada jenis permohonan. Permohonan pendaftaran ciptaan, permohonan pemindahan hak, permohonan perubahan nama dan alamat serta permohonan untuk mendapatkan petikan, harus memenuhi biaya- biaya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2007 sebagai berikut:
a. Biaya permohonan pendaftaran suatu ciptaan Rp.200.000.
b. Biaya permohonan pencatatan pemindahan hak atas suatu ciptaan yang terdaftar dalam daftar umum Rp.75.000
c. Biaya permohonan pencatatan perubahan nama dan alamat suatu ciptaan yang terdaftar dalam Daftar Umum Rp.50.000
d. Biaya permohonan petikan tiap pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan Rp.50.000
Penerimaan dari hasil pungutan biaya-biaya tersebut di atas dimaksudkan sebagai penerimaan negara yang harus disetorkan seluruhnya ke kas negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Jangka Waktu Kepemilikan Hak Cipta
Berdasarkan UU No.19 Tahun 2002 disebutkan bahwa jangka waktu pemilikan hak cipta 50 tahun. Pasal 29 Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa:
Ayat 1: Hak Cipta atas Ciptaan :
a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. Drama, atau drama musical, tari, koreografi;
c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. Seni batik;
e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. Arsitektur;
g. Ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis;
h. Alat peraga;
i. Peta;
j. Terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai, berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
Ayat 2 : Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Pasal 30 Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa: Ayat 1 : Hak Cipta atas Ciptaan:
a. Program Komputer;
b. Sinematografi;
c. Fotografi;
d. Database; dan
e. Karya hasil pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Ayat 2 : Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
Ayat 3 : Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Dengan jangka waktu yang relative panjang itu, keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat yang dikenal dengan konsep hak milik dapat berfungsi sosial dapat lebih terwujud.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keberadaan Hak Kekayaan intelektual dalam hubungannya dengan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi. Indonesia sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak akan terlepas dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku perdagangan internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut World Trade Organization (WTO).
Hak Cipta sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual serta budaya nasional dan pandangan hidup, mengisyaratkan bahwa Hak Kekayaan Intelektual tidak akan terlepas dengan hak-hak yang dimiliki manusia yang bersifat asasi. Para pencipta di Indonesia sangat “berbesar hati” bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain.
B. SARAN
Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan para pembaca tentang perlindungan hukum pemegang hak cipta yang merupakan bagian dari Hak kekayaan Intelektual serta Budaya nasional dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni, Bandung
Agus Brotosusilo, 1995, Analisa Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdangan RI dan Program Pasca Sarjana UI, Jakarta
Ahmad M. Ramli, 2000, HAKI Hak atas Kepemilikan Intelektual Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
BPHN, 1976, Seminar Hak Cipta, Binacipta, Bandung
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HaKI Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta
Budi Santoso, 2005, Butir-Butir Berserakan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Desain Industri), CV. Mandar Maju, Bandung
C.B. Macpherson, 1989, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Yayasan LBH, Jakarta
Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
M. Hutahuruk, 1982, Peraturan Hak Cipta Nasional, Erlangga, Jakarta
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, CV Pancuran Tujuh, Jakarta
OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. RajaGrafindo Perkasa, Jakarta
Peter Groves, 1993, Hak Milik Intelektual, Citra Aditya, Bandung
Rianto Adi, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta
Roni Hanitijo, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Galia Indonesia, Jakarta
R. Sukardono, 1981, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Bandung
Sentosa Sembiring, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan, CV.YRAMA WIDYA, Bandung
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, 2004, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Peraturan Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Sutrisno Iwantono, 2002, Kiat Sukses Berwirausaha : Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah, PT. Grasindo, Jakarta
Sutrisno Hadi, 1993, Metodologi Research Jilid I, UGM, Yogyakarta
Vollmar, HFA terjemahan IS Adiwimarta, 1983, Pengantar Studi Hukum Perdata (I), Rajawali Pers, Jakarta
B. Undang-undang
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Peraturan Nomor M.01-HV.03.01 Tahun 1987 Tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Hak Cipta Menteri Kehakiman RI.