Sabtu, 05 Maret 2016

TUGAS PAJAK TENTANG TRANSFER PRICING

TRANSFER PRICING

BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang masalah
            Memasuki abad 21, Integrasi ekonomi antar Negara merupakan fenomena yang menarik. Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat arus informasi, barang produksi, uang, manusia dan bahkan manufaktur, melintasi batas territorial suatu Negara dengan mudah dan murah. Globalisasi tersebut meliputi aktivitas manufaktur, jasa dan investasi.
            Salah satu karakteristik dari proses perkembangan tersebut adalah munculnya perusahaan multinasional, yaitu perusahaan yang berupa satu grup perusahaan asosiasi (entitas) yang beroperasi di berbagai Negara. Secara bertahap, perusahaan multinasional ini mmenjadi kekuatan ekonomi dengan tingkat strategi yang kompleks. Relasi komersial lintas perabatasan seperti usaha patungan (Joint Venture), lisensi, dan kesepakatan distribusi dengan mudahnya dapat diatasi dengan fasilitas ketentuan hokum yang diatur menurut kesepakatan internasional, seperti WTO, GATT, TRIPs, Konvensi-konvensi lainnya, seperti Paris , konvensi New York dan Konvesi Berne.
            Salah satu masalah yang timbul dari aktivitas komersial antar grup adalah penentuan harga atau balas jasa/imbalan yang di berikan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa atau pengalihan teknologi antar anggota grup. Anggota grup ini berupa entitas legal mandiri atau devisi dari suatu entitas legal.
            Penentuan transfer pricing atas transaksi antar anggota grup suatu perusahaan multinasional telah lama merupakan topic diskusi dan studi para otoritas pajak dan bea cukai, perencanaan (konsultan) pajak, akuntan, konsultan hokum, dan para akademisi. Berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan baik unilateral, bilateral maupun multilateral telah diupayakan untuk mengantisipasi dampak negative transfer pricing terhadap Negara.
            Indoneia adalah salah satu Negara yang telah melakukan upaya untuk mengantisipasi dampak Negatif transfer pricing tersebut. Dampak negative transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu Negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari Negara-negara yang menerapkan tariff pajak tinggi (high tax countries) ke Negara-negara yang menerapkan tariff pajak rendah (low tax countries).
            Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 17 tahun 2000 diatur wewenang direktur jenderal pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan atas transaksi antar wajib pajak yang mempinyai hubungan istimewa.
            Hubungan istimewa antara wajib pajak badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan lainnya sebanyak 25% atau lebih atau antara beberapa badan yang 25 % atau lebih sahamnya dimiliki oleh uatu badan.
            Hubungan istimewa untuk wajib pajak orang pribadi dapat terjadi karena hubungan keluarga sedarah atau semendadalam garis lurus atau ke samping suatu derajat. Hubungan Istimewa antara wajib pajak orang pribadi dianggap terjadi misalnya antara ayah, ibu, anak saudara (kandung), mertua, anak tiri dan ipar. Hubungan istimewa dapat mengakibatkan ketidakwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Secara universal ttransaksasi antara wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan, dasar pengenaan pajak (tax base) atau biaya dari satu wajib pajak kepada wajib pajak lain yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas wajib pajak wajib pajak yang mempunyai hubungan istimwea tersebut.
          Ketikwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yeng direalisasikan dalam suatu transaksi usaha tersebut di atas dapat terjadi pada :
1.      Harga jual
2.      Harga pembelian
3.      Alokasi biaya administrasi dan umum
4.      Pembebanan bunga atas pinjaman oleh pemegang saham
5.     Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa royalty, imbalan jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya.
6.      Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar.
7.      Penjualan pada pihak luar negeri melalui ppihak ketiga yang kurang atau tidak mempunyai subtansi-subtansi usaha.
Perkembangan dunia usaha saat ini yang demikian cepat, sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode dunia usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidang usaha, menimbulkan bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak jterbatas.
       Penyebabnya adalah belum tersedianya data pembanding untuk menentukan tingkat kewajaran transaksi antara konglomerasi dalam negeri dan luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) serta terkait dengan sejumlah kepentingan yang melindunginya.
       Di Indonesia, sebagaimana Negara berkembang lainnya, karena kurangnya akses data transfer pricing, belum cukup adanya studi kasus aplikasi transfer pricing oleh beberapa konglomerasi. Penyebabnya adalah belum tersedianya data pembanding untuk menentukan tingkat kewajaran ttransaksi antara konglomerasi dalam negeri dan luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa serta terkait dengan sejumlah kepentingan yang melindunginya.
   Menurut R. folsom dan M. Gordon dalam bukunya : international business transactions mengemukakan bahwa persoalan pokok yang dihadapi sehubungan dengan investasi asing, salah satunya adalah transfer pricing. Masalah transfer pricing menimbulkan sejumlah kepentingan yang melindungi dan sulitnya menyelesaikan masalah tersebut, anatara lain menyangkut bea cukai, ketentuan anti dumping, dan persaingan usaha tidak sehat. Kesemuanya pada umumnya berkaitan dengan transfer pricing. Meskipun beberapa perusahaan itu berkeinginan untuk menyesuaikan harga secara wajar dalam satu kebijakan namun hal itu langsung menimbulkan pertentangan dari perusahaan-perusahaan lainnya.
     Sebagian besar penanaman modal asing tersebut bergerak dibidang manufaktur dan mempunyai kaitan intern perusahaan yang cukup substansial dengan induk perusahaan di luar negeri. Perusahaan asing yang berada di Indonesia, adalah cabang dari induk perusahaan di luar negeri, terutama dimanfaatkan sebagai manufaktur atas barang setengah jadi (intermediate goods) atau barang mentah mereka.
    Beberapa petunjuk mengenai transfer pricing merupakan masalah yang menjadi pembahasan dalam hal ini, karena obyek yang dianggap sebagai transfer pricing atas penjualan produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda antara Direktur Jenderal pajak vs PT. Tyrolit Vincent.
    Perkara Banding antara Direktur Jendral Pajak vs PT tyrolit Vincent menjadi pokok pembahasan dalam tesis ini, karena objek yang disengketakan adalah koreksi harga jual oleh Direktur Jendral Pajak yang dianggap sebagai transfer pricing atas penjualan produk yang sama dijual dengan harga yang berbeda antara penjualan kepada pihak-pihak lain yang tidak memiliki hubungan istimewa.

b.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1.  Bagaimanan aspek hukum perpajakkan atas transfer pricing oleh poerusahaan Multinasional indonesia?
2.    Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Direktur Jendral Pajak menetapkan perbedaan harga jual antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dalam kasus sengketa pajak antara Dirrektur Jendral Pajak vs PT. Tyrolit Vincent, sebagai transaksi transfer pricing?
3.   Bagaimana sikap atau pertimbangan pengadilan pajak menetukan transfer pricing dalam perkara banding direktur Jendral Pajak vs. PT Tyrolit Vincent?

c.       Teori – Teori

Transfer Pricing.
      Transfer pricing sebagai piranti pengukur hak dan kewajiban antar mereka merupakan hal yang penting. Pada hakikatnya perusahaan-perusahaan di berbagai negara tersebut merupakan satu entitas ekonomi yang berbeda dibawah kepimilikan atau penguasaan yang sama dan kurang lebih dikendalikan oleh perusahaan induk dikantor pusatnya.
    Berdasarkan asumsi tersebut perusahaan induk berwenag menentukan transfer pricing yang berlaku dalam perdagangan internasional antar anak perusahaan . menurut coraknya maka transfer pricing dapat menyimpang dari harga yang normal atau harga sebenarnya. Meskipun hakekat transfer pricing dalam bisnis berskala global diperlukan untuk mengukur kinerja tiap divisi atau anak perusahaan , perlu disiapkan suatu transfer pricing yang sehat. Transfer pricing dapat dijadikan piranti untuk menghitung kemampuan tiap saat pertanggung jawaban dalam menghasilkan laba sesuai dengan kontribusinya terhadap keseeluruhan aktivitas perusahaan multinasional. Namun demikian, karena transfer pricing sangat tergantung pada kebijakkan alokasi keuntungan dan biaya oleh pusat manajemen perusahaan multinasional, maka kebijakan transfer pricing sangat mempengaruhi neraca perdagangan suatu negara. Oleh karenanya maka pengawaasan transfer pricing perusahaan multinasional dilakukan secara insentif oleh otoritas pajak dan bea cukai diberbagai negara, termasuk termasuk indonesia. Hal ini bkarena perusahaan multinasional dituding sering memanipulasi transfer pricing.

Yurisdiksi Perpajakkan Indonesia Untuk Transfer Pricing
       Transfer pricing sebagai strategi dan taktik bisnis yang bersifat netral, tanpa motif pengurangan beban pajak. Transfer pricing sebagai upaya untuk penghematan beban pajak secara keselruhan dengan antara lain menggesar laba ke anak perusahaan di negara yang beban pajaknya murah. Sebagai upaya mencegah erosi basis pajak aatau dasar pengenaan pajak dan penyimpngan laba usaha karena praktek transfer pricing, kebanyakkan negara pemengang yuridiksi pemajakkan memberlakukan peraturan anti penghindaraan (Anti Avoidance Rule)
     Seperti halnya praktek pemajakkan yang umumnya diikuti secara internasional, Indonesia juga memajaki wajib pajak yang melakukan transaksi dengan badan diluar yurisdiksinya. Laba harus dihitung dengan asumsi bahwa transfer pricing adalah sama dengan harga wajar (arm’s lenght price)
    Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan bagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 18, mengisyaratkan adanya kemungkinan penyelundupan pajak oleh para wajib pajak yang mempunyai hubunga istimewa. Transfer pricing merupakan alat yang dapat dipakai untuk melaksanakan maksud tersebut. Agar tidak terjadi erosi basis pajak dari transfer pricing, maka transaksi antara wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa perlu diteliti secara seksama.
     Dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 dinyatakan bahwa pemilik dan penguasa bila pemilik saham memiliki mayoritas minimal 25% dapat dianggap merupakan indikasi adanya hubungan istimewa. Indonesia menganut sistem kewajiban pajak penuh “full liability to tax unlimeted tax liability, universal taxation” atau “worldwide income taxation regime”, sesuai ketentuan pada pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000 “ yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demukian, maka hubungan istimewa tersebut dapat menjangkau badan usaha yang berada di luar teritorial Indonesia.
    Teori realistis menyatakan bahwa yurisdiksi setara dengan kekuasaan fisik, untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap orang dan harta yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Secara empiris, yurisdiksi pemajakan bukanlah semata karena kekuasaan fisik tetapi berdasarkan ketentuan perundangan dan tidak terbatas pada wilayah kekuasaan tetapi dapat meluas sampai kepada orang secara fisik berada diluar kewenangan administrasi pengenaan pajak. Sementara itu, teorin etis atau retributuif menyatakan bahwa pemajakan merupakan kontraprestasi atau imbalan (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari negara.
    Sebagaimana seering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan pasal 2 Undang-undang Pajak penghasilan 2000, Indonesia membangun yurisdiksi perpajakkan berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal yaitu : (a) status personal  atau subyek dan (b) obyektif atau kaitan ekonomis. Pertalian personal atau subyek memperhatikan status wajib pajak (tempat domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang pribadi: tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan), pertalian obyektif atau ekonomis mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan.

Hubungan antara Transfer Pricing dengan Peraturan Perpajakkan di Indonesia.
     Dalam praktek pemajakan yang umumnya diikuti secar innternasional Indonesia juga memajaki wajib pajak yang melakukan transaksi dengan badan usaha di luar Yurisdiksi. Laba usaha harus dihitung dengan asumsi bahwa transfer pricing sama dengan harga wajar untuk barang yang sama atau serupa, yang harus dibayar di antara pihak indepnden (tidak mempunyai hubungan istimewa).
    Pengertian “hubungan istimewa” berdasarkan UU PPh diatur dalam pasal 18 ayat (4), yang secara garis besar adalah: hubungan istimewa dianggap ada dalam hal hubungan antara dua WP yang salah satunya mempunyai penyertaan pada yang lain pada rendah 25%; hubungan antara WP dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua WP lain atau lebih; termasuk hubungan antara dua WP atau lebih yang disebut belakangan; hubungan antara WP yang dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; serta hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan lurus dan ataukesamping satu derajat.
      Jika terjadi transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagimana diatur dalam pasal 18 ayat (4) tersebut, Direktur Jendral Pajak (Dirjen Pajak) diberi wewenang melalukukan koreksi sebagaimana dirumuskan di ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut: “Dirjen Pajak berwenang menentukan utang sebagai modal untuk menghitng besarnya penghasilan kena pajak bagi WP yang mem[unyai hubungan istimewa denga Wp lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”. Rumusan tersebut menunjukkan ada dua hal yang harus dipenuhi agar Dirjen Pajak dapat melakukan koreksi, yaitu i) terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transaksi dan ii) transaksi tersebut tidak menunjukkan kewajaran dan kelaziman usaha.

Hubungan antara Transfer Pricing dengan Perusahaan Multinasional.
      Aplikasi kebijakkan transfer Pricing dari suatu perusahaan multinasional umumnya diarahkan dengan  tujuan legal, yaitu :
1.      Memaksimalkan pendapatan entitas ekonomi.
2.      Mengamankan persaingan antar anak perusahaan.
3.      Evaluasi kinerja anak perusahaan di luar negri.
4.      Meningkatkan bagian laba usaha patungan (joint venture)
5.      Menghindari gejolak nilai tukar.
6.      Membina hubungan baik dengan pemerintah tuan rumah.

     Mengingat bahwa pada hakikatnya, perusahaan multinasional merupakan perusahaan yang memiliki kemampuan yang besar di berbagai negara, maka induk perusahaan berwenang menetukan transfer pricing yang berlaku dalam bisnis internasional dituding sering menyalahgunakan transfer pricing. Ketentuan perpajakkan dan bea cukai diberbagai neggara dilakukan secara intensif untuk membatasi diterapkannya transfer pricing oleh perusahaan multinasional.


BAB II
MOTIVASI TRANSFER PRICING DAN KATEGORI HARGA TRANSFER ANTAR PERUSAHAAN IMPLIKASI TRANSFER PRICING TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

A.     Motivasi Transfer Pricing
Beberapa perusahaan yang berada dalam satu grup apakah karena pemikiran atau penguasaan, baik yang berskala nasional, regional maupun global, pada umumnya bekerja berdasarkan suatu recana strategis dan operasional yang telah dikaji dan dipertimbangkan secara seksama. Kebijakan atau imbalan yang diputuskan dipertimbnagkan berdasarkan penalaran yang rasional dan menguntungkan grup perusahaan secara keseluruhan.
Kebijakan harga transfer pada umumnya diarakmkan pada maksimalisasi efisiensi grup perusahaan secara totalitas dan menguntungkan bisnis global mereka. Oleh karena unsure pajak secara ekonomis, merupakan beban usaha yang mengurangi laba bersih keseluruhan, maka kebijakan transfer pricing akan mengarah pada pertimbangan mainimalisasi total beban pajak global perusahaan.
Secara umum pengertian transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis financial auat transaksi lainnya. Menurut Tsurumi (1984) dalam gunadi dalam suatu grup perusahaan transfer pricing (sering disebut dengan istilah intercompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing atau internal pricing), merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan. Transfer pricing tersebut bermula dari usaha pengendalian yang dilakukan oleh satu pihak lainnya melalui kepemilikan, misalnya antara induk dengan anak perusahaan atau antara perusahaan afiliasinya.
Penelitian tentang transfer pricing di Indonesia oleh tim UNTC (United nation Technical Coorporation) dari PBB yang diketuai oleh Dr. Silvain plasschaat di simpulkan adanya beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia seperti :
1.      Pengurangan obyek pajak (terutama pajak penghasilan)
2.      Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri
3.      Penurunan pengaruh depresiasi rupiah
4.      Menguatkan tuntutan kenaikan atau proteksi terhadap saingan impor
5.   Mempertahankan sikap low profile atau konservatisme tanpa memperdulikan  tingkat keuntungan usaha
6.     Pengamanan perusahaan dari tuntutan imbalan prestasi pimpinan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat)
7.   Memperkecil akibat pembatasan dan ketidakpastian atas resiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri.

      Dari uraian di atas Nampak bahwa pada prinsipnya praktek transfer pricing dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong oleh karena alas an pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-text motive). Motivasi pajak atas praktek transfer pricing dilakukan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan dari Negara dengan beban pajak tinggi ke Negara lain dengan beban pajak terendah atau minimal atau kalau mungkin nihil. Salah satu rekayasa pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk royalty karena dengan sangat langkanya standar harga pasar (tariff) atas royalty maka akan sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya.

B.      Kategori Harga Transfer Antar Perusahaan
Dalam system perpajakan, menghendaki agar harga yang dihitung pada tiap transaksi antar perusahaan berdasar prinsip harga wajar. Namun secara umum terdapat empat basis penentuan harga transfer yaitu:
1.      Penentuan Harga Transfer Berdasarkan Biaya
Jika harga kompetitif tidak berbeda, maka suatu harga transfer dapat ditentukan berdasarkan biaya ditambah laba.
2.      Penentuan Harga transfer Berdasarkan Harga Pasar
Keunggulan adalah bahwa sifat objektif dan paling baik dalam memenuhi criteria keputusan harga wajib. Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan.
3.      Penentuan Harga transfer Berdasarkan negosiasi
Alas an terpenting bagi unit usaha adalah mengnegosiasikan harga diantara mereka yang memiliki informasi paling tepat mengenai pasar dan biaya yang ada, sehingga mereka merupakan pihak yang paling mungkin untuk memberikan harga yang pantas.
4.      Penentuan harga Transfer Berdasarkan Arbitrase
Arbitrase merupakan tanggung jawab dari kelompok atau eksekutif tingkat atas dari kantor pusat, karena keputusan arbitrase memiliki dampak yang sangat mempengaruhi laba unit-unit usaha. Pendekatan ini menekankan pada harga transfer berdasarkan interaksi kedua divisi pada tingkat yang dianggap terbaik bagi kepentingan perusahaan.

C.       Implikasi transfer Pricing terhadap Penerimaan Pajak.
Pada prinsipnya transfer pricing dapat melibatkan baik transaksi domestic maupun global. Transfer pricing domestic tidak membawa impliikasi yang signifikan karena masih dalam satu yurisdiksi pemajakan yang sama. Sehubungan dengan transaksi global, perbedaan tariff pajak penghasilan antar Negara dapat mendorong rekayasa harga transfer untuk memperoleh penghematan pajak global. Hal ini dilakukan dengan cara merelokasi pengasilannya ke perusahaan ke Negara yang menggunakan tariff pajak relative rendah, dan sebaliknya membebaskan biaya-biaya usahanya lebih besar pada perusahaan dinegara yang menerapkan tariff pajak relative tinggi.
Strategi transfer pricing yang bertujuan untuk melakukan penghindaraan pajak akan sangat merugikan bagi penerimaan pajak suatu Negara, karena potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh menjadi hilang.

  

BAB III

ASPEK HUKUM PERPAJAKAN ATAS TRANSFER PRICING PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA

a.      Perhitungan kembali harga dalam hubungan istimewa.
     Secara bisnis komersial penentuan harga transfer dalam jumlah yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong secara murin, oleh kebijakan usaha. Untuk tujuan penghematan pajak, beberapa mekanisme transfer pricing adalah (1) pemberiaan harga dengan mark up atau mark down atas transfer pricing; (2) pengutipan tarif imbalan atas penyerahan jasa; (3) alokasi biaya bersama; (4) pembiayaan perusahaan sebagian besar dengan pimpinan.

b.      Pemajakan atas penghasilan anak perusahaan multinasional
   Perusahaan multinasional yang bermaksud untukl mengembangkan usaha, kegiatan atau investasinya di Indonesia dapat melakukannya dengan mendirikan cabang ataiu anak perusahaan (subsidiary, company). Anak perusahaan dapat terjadi dengan mendirikan badan atau pembeliaan sebagian besar saham badan usaha di Indonesia yang sudah berjalan. Dari segi perpajakan pengoperasian anak perusahaan menimbulkan wajib pajak badan dalam negeri, apabila didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

c.       Standar pengujian kewajaran harga transfer
    Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam penulisan hasil penelitian ini, bahwa ketentuan tentang standar pengujian kewajaran harga transfer untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa, sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 3 UU PPh, sampai saat ini belum ada ketentuan pelaksanaannya.

d.      Aspek perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)
    Mengingat sebagian besar masalah transfer pricing ini berkaitan dengan perusahaan multinasional, salah satu yang dapat ditempuh adalah kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda / P3B (tax treaty).

e.      Ketentuan penangkal rekayasa transfer pricing
pada umumnya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan utama suatu negara dalam rangka pebiayaan penyelenggaraan pemerintahan untuk penyediaan barang jasa publik serta pembangunan, menyadari bahwa pajak merupakan unsur peenerimaan negara yang penting, setiap negara pemungut pajak akan berusaha menangkal penghindaran dan perencanaan pajak, dengan menyusun ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan tindakan administrasi lainnya.

BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PAJAK ATAS SENGKETA PAJAK

Hubungan istimewa terjadi karena antara Pemohon Banding dengan pihak pembeli, yakni Tyrolit Vincent SPA Italy, SV Group Ltd China, Tyrolit Middle East FZE dan Tyrolit Thailand, memiliki hubungan kepemilikan melalui penyertaan modal langsung atau tidak langsung maupun penguasaan manajemen dengan pemegang saham, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 4 huruf a dan b Undang-undang pajak Penghasilan, berbunyi: Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), pasal 8 ayat (4), pasal 9 ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a.      Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antar dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir, atau
b.      Wajib Pajak menguasai Wajib Pajaklainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut PT Tyrolit Vincent menyatakan bahwa harga jual kepada costumer related parties lebih rendah dibanding dengan yang bukan related parties adalah wajar, hal ini dilandasi oleh pertimbangan bisnis yang tidak melanggar ketentuan perpajakan, karena:
a.      Harga jual pasar dari produk PT Tyrolit Vincent diluar negeri lebih rendah disbanding di Indonesia. Penjualan produk ke luar masih belum dapat bersaing, sehingga mulai pertengahan tahun 2001 tidak ada lagi penjualan ke Thailand dan bahkan tahun 2000 semua barang dari SV Group china diretur ke China.
b.      Costumer related parties tersebut juga bertindak sebagai distributor yang menanggung biaya-biaya, seperti modifikasi produk.
c.       Penjualan ke costumer related parties akan mengurangi biaya yang berhubungan dengan penjualan lainnya. Misalnya expatriate yang harus berkunjung ke luar negeri, akomodasi bagi staf expatriate.
d.      Mengurangi resiko kredit macet atau biaya L/C karena biasanya pembeli related parties tidak bersedia untuk membuka L/C.
e.      Penjualan kepada costumer related parties akan mengurangi pencadangan piutang tak tertagih, karena untuk pelunasan piutang dari customer related parties akan langsung diperhitungkan dengan saldo hutang PT Tyrolit Vincent SPA Italy.
Direktur pajak menanggapi alasan PT Tyrolit Vincent, bahwa harga jual produk yang sama kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa lebih rendah dibanding dengan pihak-pihak adalah wajar adalah tidak dapat diterima karena;
a.      PT Tyrolit Vincent tidak dapat membuktikan apabila harga jual produk baik kepada related parties maupun kepada third parties adalah sesuai dengan harga jual, sehingga dapat dibuktikan bahwa harga jual produk sebanding dengan cost per unit ditambah dengan margin profit tertentu.
b.       Sekali pun harga jual produk di pasar luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan di dalam negri, tidak berarti harga jual produk kepada related parties harus lebih rendah dibandingkan dengan harga jual produk kepada non related parties.
c.       Biaya-biaya seperti modifikasi produk dan tecknical support yang di tanggung oleh customer related parties, seharusnya diperhitungkan sebagai harga jual produk ketika related parties menjual kembali produk tersebut, baik dalam bentuk produk yang dimodifikasi maupun bentuk lain, sehingga adanya beban-beban tersebut tidak semestinya pemohon banding menjual produk dengan harga jual secara tidak wajar. Selain itu pemohon banding tidak dapat membuktikan bahwa pemohon banding harus memberikan technical support kepada related parties, dan sebaliknya pihak related parties berkewajiban membayar technical fee kepada pemohon banding sesuai dengan bukti perjanjian atau bukti lainnya.
d.      Harga jual produk kepada related parties yang lebih rendah daripada harga jual kepada third parties tidak dapat memberikan jaminan bahwa biaya perjalanan dinas dan akomodasi staf expatriate ke luar negeri, maupun resiko akibat kjredit macet atau biaya L/C akan dikurangi karena kenyataannya biaya-biaya tersebut sudah menjadi kelaziman dalam dunia usaha.
e.      Walaupun pemohon banding melakukan penjualan kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa maka pencadangan piutang yang tidak tidak tertagih tetap tidak di perkenankan sesuai ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf c undang-undang pajak penghasilan, sehingga tidak beralasan apabila penurunan harga jual akan dapat mengurangi pencadangan piutang tak tertagih.



BAB V
KESIMPULAN

1. Aspek hukum perpajakkan atas transfer pricing oleh perusahaan multinasional di Indonesia dilandasi oleh pemikiran semakin berkembangnya pada dewasa ini badan-badan usaha yang merupakan group yang secara langsung atau tidak langsung dibawah kepemilikkan atas penguasaan pihak yang sama, dengan kata lain mempunyai hubungan istimewa. Suatu hal yang wajar apabila di antara badan-badan usaha tersebut terjadi transaksi-transaksi, diman harga yang diperhitungkan pada transaksi antara anggota group tersebut sering kali tidak sama dengan harga yang berlaku di pasar bebas, atau dengan perkataan lain telah terjadi penentuan harga yag tidak wajar (non arm’s lenght price).
Mencegah terjadinya penghindaran pajak antara lain melalui penentuan harga yang tidak wajar, maka pemerintah dalam perundang-undangan perpajakkan telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberiakan wewenang kepada otoritas pajak, yaitu Direktur Jendral Pajak Departemen Keungan Republik Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap transaksi yang tidak wajar dengan pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa, (pasal 5 dan Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1994). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan pajak untuk menghitung beberapa pajak terhutang atas transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dalam penelitian ini adalah wajib Pajak dalam negeri (Indonesia) yaitu PT. Tyrolit Vincent dengan Wajib Pajak yang berkedudukan di Italia, yaitu Tyrolit Vincent Italy.
Pemeriksa pajak dalam kasus sengketa Direktur Jendral Pajak vs. PT. Tyrolit Vincent, telah melakukan koreksi atas peredaran usaha Wajib Pajak dengan berpedoman pada kebutuhan-kebutuhan yang diatur dalam keputusan Direktur Jendral Pajak dan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak mengidentifikasikan lebih dahulu data informasi yang tersedia dan melakukan analisa hubungan dengan transfer pricing serta harus mengidentifikasikan masalah-masalah menyangkut antara lain :
a.      Perusahaan-perusahaan dan tidak yang terkait dalam praktek pembebbanan harga yang tidak wajar;
b.      Kebijaksanaan dan metode pembebanan harga dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan motivasinya;
c.       Tipe-tipe transaksi yang dipengaruhi oleh praktek-praktek pembebanan harga yang tidak wajar
d.      Produk-produk khusus yang dipengaruhi oleh praktek-praktek pembebanan harga yang tidak wajar;
e.      Kasus-kasus harga yang ditinggiakn (over pricing) dan harga yang direndahkan (under pricing) dalam transaksi dalam negri dan impor/ekspor.

2. Pandangan hukum bisnis internasional terhadap perbedaan harga jual antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (related parties), merupakan persoalan pokok yang dihadapi sehubungan dengan investasi asing yang salah satunya adalah transfer pricing. Masalah transfer pricing menimbulkan sejumlah kepentingan yang melindungi dan sulitnya menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh negara-negara berkembang adalah kerjasama internasional dalam bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty). Dalam perumusan P3B, indonesia merujuk pada UN Model yang seccara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan negara berkembang. Pasal 9 UN Model yang memberikan wewenang kepada salah satu negar untuk melakukan pemeriksaan antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan  istimewa, sepanjang tidak menunjukkan harga jualyang wajar (arm’s lenght price) menurut pasar. Ketentuan yang diatur pada pasal 9 UN model ini sejalan dengan ketentuan pasal 18 ayat 18 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-undang Pajak Penghasilan 2000. Intinya, bahwa Direktur Jendral Pajak Berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan dengan pandangan Internasional terhadap kewenangan  pemerintah untuk melakukan pemeriksaan atas perbedaan harga jual perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) untuk menentukan apakah transaksi yang dilakukan tersebut sebagai rekayasa transfer pricing.

3. Sikap/pertimbangan Pengadilan Pajak menetukan transfer pricing dalam perkara banding Direktur Jendral Pajak vs PT. Tyrolit Vincent berdasarkan pada bukti-bukti yang diajukan Pemohon Banding (PT. Tyrolit Vincent) dalam persidangan berupa audit report Tyrolit Vincent Italy, diketahui bahwa Tyrolit Vincent Italy (induk perusahaan) masih memperoleh laba. Sedangkan data mengenai tarif pajak di Italy tahun 2000 untuk tarif tertinggi dibandingkan tarif tertinggi yang berlaku di Indonesia, yaitu 30%. Selanjutnya, pertimbangan Majelis Pengadialn Pajak adalah melihat kondisi pasar domestik tidak dapat diandalkan untuk menyerap produk pemohon Banding, sehingga motivasi perbedaan harga jual atas produk yang sama dimaksudkan untuk dapat bertahan menjaga kelangsungan usaha. Pemohon Banding agar perusahaan tetap berjalan. Kesimpulan menjalin pengadilan Pajak bahwa tindakan Pemohon Banding tidak dimaksudkan untuk melakukan penghindaran pajak dan oleh karena itu tidak terbukti adanya rekayasa transfer pricing, meskipun unsur harga jual yang tidak wajar (non arm’s lenght price) terpenuhi.



SARAN
1.   Rekomendasi yang diberikan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan 2000 salam pasal 18 ayat (3a) kepada Direktur pajak dan mengurangi pemeriksaan yang membutuhkan banyak waktu dan usaha berkaitan dengan isu utama dari perusahaan multinasional adalah transfer praicing, maka salah satu upaya dengan meralisasikan petunjuk operasional model kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement-APA). Dengan APA, baik administrasi pajak maupun perusahaan multinasional telah sepakat untuk menerima metode trasfer pricing yang akan diterpkan dan sekaligus harga transfer antar perusahaan. Dengan demikian, APA diharapkan dapat mengurangi biaya bagi administrasi pajak maupun bagi kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.   Harus disadari bahwa dalam rekayasa perencanaan pajak yang canggih seperti saat ini semua bukti formal dapat disediakan dengan rapih. Agar lebih operasional dan kukuh, maka ketentuan yang diatur dalam keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor. KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Nomor SE-04/PJ.7/1993 perlu disesuaikan deengan guideline yang terkini dan dirumuskan dalam Undang-Undang perpajakan.
3. Pengandialan Pajak harus lebih banyak menghasilkan yurisprudensi yang mampu menangkal praktik rekayasa transfer pricing yang berupaya menggerus potensi penerimaan pajak. Menghadapi yang demikian maka ketentuan penagkal penghindaran pajak melalui rekayasa transfer pricing semakin dikembangkan, diperjelas dan diupertegas, sehingga melalui keputusan Pengadilan Pajak akan memperkaya ketentuan transfer pricing yang diharapkan bisa memberi jalan bagi perbaikkan ketentuan dalam rancangan perubahan undang-undang perpajakan




Read more >>
SELAMAT DATANG DAN TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG Topiqtrend SEMOGA SUKSES SELALU